doa adalah pemanis di setiap perjalanan
Hari ini 17 Ramadhan 1434 H. Aku, husna, dan Ian berkunjung ke rumah ustadz kami di Muntilan. Kami sampai di rumah beliau pukul 16.00 WIB. Rencananya kami hanya satu jam disana. Namun ibu, sebutan kami untuk istri ustadz, meminta kami untuk berbuka puasa bersama. Awalnya kami menolak. Yah wajar saja, kami tidak mau merepotkan. Tetapi ibu memaksa. Yah mau bagaimana lagi, jarang-jarang kami bisa berbuka puasa bersama guru yang paling kami sayangi. Sebenarnya kunjungan kami kesana karena ustadz sedang sakit. Beliau adalah guru yang selalu membuatku termotivasi, menyemangatiku, dan selalu berkata untuk tidak mundur walau hanya satu inchi. Umur beliau kini 65 tahun. Sudah dua bulan beliau terperangkap dengan penyakit yang awalnya kami kira adalah demensia. Ternyata seminggu yang lalu, hasil rumah sakit menyatakan bahwa beliau terkena penyakit tumor otak. Hal itulah yang membuat kami bertiga datang ke Muntilan untuk melihat senyum beliau.
“gimana kabarnya ustadz?” tanyaku
“…………….” ustadz hanya mengangguk. Beliau diam tanpa kata.
Itu adalah salah satu efek dari penyakit tumor otak yang sedang diidapnya. Kadang beliau sampai menangis karena beliau ingin sekali dapat berbicara seperti dulu. Sebenarnya bisa, tapi beliau selalu lupa dengan apa yang ingin dikatakannya. Bulan Ramadhan ini penuh berkah. Jika kuamati, kondisi beliau dibanding saat pertama kali aku menjenguknya, kini lebih banyak dapat mengucapkan kosakata. Aku selalu menangis mengingatnya. Tapi tidak, kami tidak boleh menangis di hadapan beliau.
Sambil menunggu adzan maghrib berkumandang, Husna dan ibu pergi membeli ta’jil (makanan untuk berbuka puasa). Sedangkan Aku dan Ian menemani beliau di rumah. Aku dan Ian hanya bisa merenung. Efek lainnya, beliau lupa dengan anak-anak didiknya. Penyakit itulah yang membuat beliau harus tabah dan berjuang mengahadapi ujian yang diberikan oleh Allah SWT. Walaupun beliau hampir tak bisa bicara, ada satu hal yang membuat kami selalu tertegun melihatnya, beliau dapat mengucapkan kalimat toyyibah dengan baik. Bukan hanya sekedar dapat, tapi setiap beliau ingin bicara dan tak bisa dikeluarkan namun kalimat toyyibahlah yang keluar dari mulut beliau.
“Allahu Akbar Allahu Akbar….”
Adzan berkumandang tepat pada saat kami selesai menyiapkan ta’jil buka puasa. Beliau makan dengan lahap. Aku tersenyum melihatnya.
Kami sholat maghrib berjamaah. Selesai sholat kami bepamitan untuk pulang. Sekarang jarum jam menunjukkan pukul 18.30 WIB. Bagiku disinilah permasalahannya. Kami tidak tahu harus naik bis apa agar dapat kembali ke rumah kami. Aku dan Husna akan kembali ke Solo. Berbeda dengan Ian yang akan kembali ke Jogjakarta. Ibu memberi tahu kami untuk menaiki bis eka. Bis tersebut dapat membawa kami hingga Solo. Jadi Aku dan Husna tak perlu turun di Jogja kemudian naik kereta untuk ke Solo. Akan tetapi ibu menyarankan kami seandainya bis eka tidak ada maka kami harus kembali ke tempat ibu. Itu kemungkinan yang tidak kami inginkan. Jelas saja, ini akan lebih merepotkan untuk ibu dan ustadz.
“Bu kami pulang dulu ya. Syukron bu. Assalaamu’alaikum…” pamit kami bersamaan.
“Inget ya mbak, kalau nanti bisnya nggak lewat-lewat, segera kembali kesini saja. Biar nanti tidur disini. Wa’alaikumussalaam..” Pesan ibu.
Kami berjalan keluar gang menuju jalan raya. Kami menunggu bis di depan toko oleh-oleh seberang jalan. Muntilan yang terkenal dengan tape ketannya. Sepuluh menit berlalu. Belum ada hasil. Hingga berhentilah sebuah mobil tepat didepan kami. Seorang lelaki keluar dari dalam mobil. Dia pergi ke toko untuk membeli rokok dan minuman. Tak ada sesuatu yang terjadi. Kami terus mengamati kendaraan-kendaraan yang lewat. Tapi tak ada tanda-tanda bis akan muncul. Husna kini sibuk memainkan hpnya. Ibunya terus mengirimkan sms kekhawatiran terhadap husna. Ian sedang membeli minuman. Sedangkan aku? Aku menatap mobil yang ada didepanku sambil berkata di dalam hati,”Ya Allah coba aja ni orang di dalam mobil nawarin kita buat balik.” Beberapa saat kemudian, lelaki tersebut kembali ke mobil. Jendela mobil dibuka. Saat itu yang sedang fokus menghadap mobil adalah aku. Bisa kulihat ada tiga orang lelaki di dalam mobil tersebut. Lalu salah satu dari mereka menonjolkan kepala mereka melalui jendela. Dia menghadapkan wajahnya ke Aku dan Husna kemudian berkata,”mbaknya mau ikt gak?”. Aku terdiam. Hingga Husna pun berkata,”oh nggak usah mas. Terimakasih.” Dia kembali berkata,”udah nggak papa. Mau ke Jogja kan?”. Seketika aku langsung berpikir. Bagiku tak masalah jika kami ikut menumpang. Aku dan Husna bisa melanjutkan perjalanan ke Solo dengan kereta. “Bentar deh ada tapinya!” batinku. Aku baru sadar, ini bisa jadi hal yang menyeramkan. Di dalam mobil tersebut semuanya adalah lelaki. Oh lebih baik kami tetap istiqomah menunggu bis. “Wah makasih ya mas tawarannya. Mau nunggu bis saja biar langsung ke Solo.” Jawabku dan Husna. Mobil itu pun pergi. Ian datang menghampiri. Kami menceritakan kejadian yang baru saja terjadi. Selesai bercerita, aku terdiam. Entah kenapa aku merasa kejadian ini seperti sesuatu yang telah direncanakan. Apa maksudnya? Kejadian ini seperti apa yang aku inginkan. Ketika aku berharap agar pengendara mobil tersebut menawarkan tumpangan untuk kami. Tidak! ini bukan sekedar harapan, tapi doa. Wow! Aku merenungkan kejadian ini. Sangkut paut antara doa yang aku ucapkan hingga doa tersebut terkabulkan. Aku heboh walau kehebohanku itu dipenuhi rasa takjub dan heran. Aku menceritakannya kepada Husna dan Ian.
“kayaknya emang kita disuruh doa deh!” kata Ian penuh antusias.
Kami langsung memanjatkan doa.
“Ya Allah permudahkanlah kami. Biarkan bis eka lewat ya Alloh…”
Tak ada 30 detik. Ketika kami menoleh ke kiri, sebuah kendaraan besar nan panjang pun lewat. Itu bis eka! Alahamdulillah….
Ups tapi, kami bertiga tak beranjak dari tempat kami. Bis tersebut mengarah lurus ke kanan. Padahal arah menuju Jogja-Solo adalah ke kiri.
“eh doanya langsung terjawab coba! Wah ya Alloh keren banget!” teriak kami dengan rasa haru.
“ayo-ayo doa lagi. Kali ini doanya lebih spesifik.” Pintaku.
“Ya Allah permudahkanlah kami untuk kembali ke rumah. Lewatkanlah bis eka jurusan surabaya yang nantinya dapat berhenti di jogja dan solo ya Alloh. Aamiin.” Doa kami penuh harap.
5 menit kemudian. Doa tersebut belum terjawab. Tapi kami tidak menyerah. Kami semakin yakin dengan kekuatan doa.
“ayo doa lagi. Gimana kalau lebih spesifik lagi? Doanya ditambah minta dikabulkan setelah doa selesai.” Kataku. Walaupun sedikit ribet tapi Husna dan Ian pasti tahu maksudku. Ada sesuatu yang terbesit dipikiranku. Haduh manusia memang banyak mintanya ya. Yah berhubung kami adalah manusia, mau bagaimana lagi. Kami percaya Allah itu maha pengasih lagi maha penyayang.
“Ya Allah permudahkan kami untuk kembali ke rumah. Lewatkanlah bis eka yang nantinya dapat berhenti di Jogja dan Solo ya Alloh. Kabulkanlah doa kami ketika kami selesai membaca doa ini ya Allah.” Kami berdoa hingga tiga kali. Hingga ketika kami mengucapkan ‘aamiin’, dari kejauhan nampak sebuah bis menuju arah kiri kami. terlihat tulisan Semarang-Surabaya. Bis inilah yang dapat membawa kami menuju Jogja dan Solo.
“itu bis eka! Yeeeeeee! Horeeee! Ya alloh alhamdulillah!” teriak kami bertiga. Bahkan kami tak sadar bahwa kami teriak sambil meloncat-loncat. Oh betapa girangnya kami. Kami pun menaiki bis tersebut. Rasa bahagia itu benar-benar menyertai tawa kami. Lantunan doa yang kami ucapkan. Harapan-harapan yang dihiasi keyakinan atas kuasa-Nya. Di bulan Ramadhan ini, perjalananku terasa begitu bermakna. Takjub akan doa-doa yang langsung dijawab oleh-Nya. Berdoalah dimana pun dan kapan pun. Apalagi ketika berada dalam kondisi terjepit saat melakukan perjalanan. Doa inilah yang akan menyelamatkanmu. Mintalah kepadaNya. DIA pasti menjawab doa-doa hambaNya. Namun waktu untuk menjawabnya, itu adalah rahasia Allah. Bersabarlah dan terus panjatkan doa-doamu. Justru Alloh senang melihat ketaqwaan hambaNya yang selalu berdoa.
Foto bersama di kediaman ustadz
Terakhir saya ucapkan terimakasih kepada PT. Cipta Buru Sukses yang telah mengadakan kompetisi blog melalui www.burufly.com Semoga kami semakin bersemangat untuk menulis!