Untuk Kemaslahatan, Apa Dasarnya? Apakah Betul Sebagai Solusi?
Baru-baru ini media sedang ramai dengan bagaimana kontra antara aktivitas bisnis pertambangan dengan aktivis lingkungan. Padahal konflik seperti ini sudah lama selalu terjadi di negara kita. Kalau teman-teman pernah dengar tentang konflik agraria, alih fungsi lahan, kebakaran hutan, polusi dan limbah pabrik, tumpukan sampah, selalu melahirkan konflik-konflik yang tidak ditemukan solusi baiknya. Disini, ijinkan aku menyampaikan isi pikiranku dalam bentuk tulisan ringan sehingga diharapkan akan mudah dipahmi dan mungkin bisa menambah insight baru untuk teman-teman pembaca.
Ketika kita mendengar atau melihat terkait aktivitas pertambangan, tentu kita tau bahwa hasil tambang itu memang bermanfaat. Aktivitas ini tentu merupakan aktivitas bisnis. Tidak hanya tambang, aktivitas pertambakan seperti budidaya ikan, udang, dll, lalu peternakan, bahkan aktivias jual beli barang maupun makanan baik online maupun gerobakan yang ada disekitar kita, konteksnya adalah sama yaitu aktivitas bisnis. Perlu kita ketahui dan pahami, setiap aktivitas bisnis pasti menghasilkan emisi residu yang memberikan dampak negatif pada sekitar baik lingkungan maupun makhluk hidup disekitar. Sebagai contoh mudahnya, mobilisasi dengan transportasi untuk berangkat kerja yang menggunakan kendaraan. Kendaraannya menggunakan bahan baku sumber daya alam berbatas, belum polusinya yang memberikan dampak pada orang yang dilewatinya, begitu juga dampak pada kualitas udara. Lalu ada limbah pertambakan dan peternakan. Begitu juga dengan yang sering kita jumpai sampah plastik kemasan. dan masih banyak lagi contoh-contoh dampak dari adanya aktivitas bisnis dari yang ringan sampai yang paling berat apalagi skala besar aktivitas bisnis.
Setelah dipahami, kita akan menjumpai ragam pernyataan seperti berikut:
“Ya udah mau gimana lagi, kita kan butuh.”
“Kalau pakai plastik kan murah dan simple ga ribet.”
“Ini kan untuk kebaikan banyak orang, kenapa si harus kaku begitu?”
dan masih banyak lagi yang sebenarnya kalau kita perhatikan konteksnya sama: untuk kemaslahatan atau ya mudahnya demi manfaatnya.
Pertanyaannya: Apa sih dasarnya yang katanya untuk kepentingan maslahat itu?
Teman-teman pembaca mungkin pernah mendengar tentang memilih mana yang memberikan manfaat terbesar. Secara teori ini masuk dalam kriteria utilitarianisme yaitu sebuah kebijaksanaan atau tindakan yang membawa manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Dalam bisnis, pilihan kebijakan seperti ini pasti akan dijumpai. Sayangnya, utilitarian ini memiliki kelemahan. Sekilas cerita, tulisan favorit yang sering aku pakai rujukan dalam menggugah pemikiranku tentang bisnis dan lingkungan adalah karya-karyanya Pak Sony Keraf (Menteri Negara Lingkungan Hidup pada Kabinet Persatuan Nasional 26 Oktober 1999 – 9 Agustus 2001). Pada buku etika bisnis tuntunan dan relevansinya Hal 93-106 dipaparkan bagaimana awal mula teori etika utilitarianisme, nilai positifnya, hingga kelemahannya, bahkan sampai jalan keluarnya. Karena apa? dalam bukunya ditulis terdapat enam kelemahan bila memilih kebijakan acuan utilitarian. Supaya tidak berpanjang-panjang, pada poin keenam dituliskan bahwa kelemahan paling pokok dari etika utilitarianisme adalah bahwa utilitarianisme membenarkan hak kelompok minoritas tertentu dikorbankan demi kepentingan mayoritas. Artinya, etika utilitarianisme membenarkan penindasan dan ketidakadilan demi manfaat yang diperoleh sebagian besar orang. Contoh konkretnya suatu perusahaan mendatangkan devisa negara dan menguntungkan banyak pihak lain seperti investor, pemasok, penyalur, meskipun merugikan hak penduduk atas tanahnya, memberi dampak buruk pada kualitas air bersih penduduk setempat, upah buruh yang minim, penganut teori etika ini akan tetap dianggap etis.
Pertanyaannya: Ah masa, memangnya manfaat yang diterima sebagaian besar orang tersebut sebanding dengan dampak negatif yang diberikan?
oke, kita ambil contoh beberapa waktu yang lalu. Seorang guru besar di IPB yang menguak perhitungan kerugian dari korupsi timah. Beliau memaparkan dengan detail kerugian bentuk pendapatan keuangan tetapi juga termasuk dari kerugian perhitungan aspek lingkungan dan sosial. Yap, dampak kerugian lingkungan itu bisa diominalkan misalkan berapa banyak pohon yang ditebang bisa dikonversikan dengan emisi CO2 yang berkurang penyerapannya, atau dengan nilai kualitas udara, debit air yang berkurang resapannya, semua itu bisa dihitung secara kuantitatif. Ketidaksejahteraan, banyaknya yang terkana penyakit/dampak bagi aktivitas sosial/ dalam keseharian manusia juga bisa dinominalkan. Model matematikanya bisa dibuat tinggal apa saja variabel yang terdapak selipun itu yang tidak bisa berbicara seperti tanaman dan hewan. Kalau didalam manajemen lingkungan, ada ilmu tentang ekonomi lingkungan. Jujur, aku sendiri pernah belajar selama 3 sks saat di perkuliahan meski ini belum seberapa karna belum sampai sedetail itu materinya. Ilmu ini merupakan keilmuan multidisplin yang ga mudah buatku apalagi aku sulit akur dengan matematika. Saat itu dosenku pun menyampaikan bahwa ahli ekonomi lingkungan memang belum banyak di Indonesia dan penerapannya pun belum umum di Indonesia. Tapi mau sampai kapan kita stag dengan cara-cara konvensional sedangkan ilmunya bahkan sudah ada dan diterapkan di banyak negara luar. Sehingga ketika ilmu ini diterapkan, kita ga lagi subjektif menilai sebuah kemaslahatan bahwa tambang ini baik karena bermanfaat untuk banyak orang sedangkan ada masyarakat yang terkena paparan merkuri dan cemaran limbah, pun termasuk mahkluk hidup lain disekitarnya yang juga terkena terdampak. Padahal coba kita pikir, makhluk hidup yang tidak bisa berbicara itu, saat mereka tiada juga akan menjadi rantai runut yang nantinya berdampak pada manusia. Maka, penting sekali saat memiliki pemimpin yang mampu membuat jalan keluar yang baik sebelum membuat pilihan kebijakan utilitarian.
Pertanyaannya: Kalau tidak utilitarian, lalu apakah ada jalan keluarnya sebagai solusi?
Dikutip dari tulisan Pak Sony Keraf, yang perlu diakui adalah bahwa tidak mungkin kita memuaskan semua pihak secara sama dengan tingkat manfaat yang sama isi dan bobotnya. Hanya saja, yang pertama-tama harus dipegang adalah bahwa kepentingan dan hak semua orang harus diperhatikan, dihormati, dan diperhitungkan secara sama. Kalau dari kacamataku, mudahnya kompromi dengan prinsip moral. Sebagai contoh dengan hitungan kasar: seorang pedagang makanan tiap harinya selama setahun mengeluarkan 100 sampah kresek untuk pembelinya. Maka dengan moralnya, ia akan bertanggung jawab lingkungan setiap harinya selama setahun tidak akan berupaya memilah sampah rumah tangganya dan menyetorkan sampahnya ke bank sampah. Atau untuk perusahaan besar seperti tambang, semisal mereka membuka lahan 1 juta hektar hutan, maka dia harus mengembalikan 1 juta hektar beserta ekosistemnya meski ditempat lain. Pun begitu juga dengan tanggung jawab sosial. Aku yakin betul para pelaku bisnis pasti sudah mengetahui dampak apa yang akan terjadi di sekitar aktivitas bisnisnya. Semisal akan terjadi paparan limbah, maka yang pertama harus dilakukan adalah teknologinya yang harus mumpuni bertanggung jawab. Regulasi harus tegas dengan masalah teknologi pabrik. Seandainya masih ada cemaran residu terbebas ke lingkungan masyarakat, maka masyrakat harus dinformasikan dan difasilitasi hak kebebasan dari cemaran tersebut misalkan dibuatkan jasa pemeriksaan kesehatan gratis, ataupun santunan rutinan.
Seperti apa yang pernah disampaikan oleh aktivis greenpeace, coba sebutkan satu saja, apakah ada perusahaan tambang di Indonesia yang telah mereklamasi aktivitas tambangnya kembali seperti semula? Nyatanya belum ada, itulah yang sewajarnya membuat masyarakat khawatir dan meminta hak-hak kesetaraan keadilan. Selama ini di Indonesia khususnya, terkait sampah, bencana alam, seringkali dititik beratkan pada user/pengguna/masyarakatnya seperti tidak boleh buang sampah sembarangan, biasakan bawa wadah sendiri. Itu betul, tapi bagaimana bisa menjadi kokoh kalau regulasi kebijakan di pemerintahannya saja baik pusat maupun daerah tidak mendukung/memfasilitasi. Pelaku bisnis pun harus diperketat regulasinya sehingga tidak hanya untuk kepentingan profit bisnisnya tapi juga memperhitungkan tanggung jawab lingkungan sekitar dampak dari bisnis yang telah dilakukan. Bagaimana caranya agar pasar tidak banyak sampah sayuran terbuang percuma sedangkan pemerintah daerahnya tidak turut memberikan fasilitas berupa kebijakan penanganan masalah sampah pasar yang kian menumpuk dan meresahkan. Bagaimana caranya ketika masyarakat lokal setempat terdampak racun merkuri sedangkan mereka bingung harus mengadu kemana dan harus berbuat apa? Bagaimana cara alam berbicara saat mereka dipaksa untuk yang katanya diciptakan untuk terus diambil manfaatnya? Seperti apa indikator mana yang tidak boleh dan boleh dikeruk? Apakah tanggungjawab moral pada alam dan masyarakat sekitarnya harus terkana imbasnya karna nilai etik utilitarian? Ga mudah memang, tapi bisa dilakukan.
Sebetulnya tulisan ini ga sekadar sebagai luapan hati dan pikiran atas baru-baru ini terjadi. Etika utilitarian ini pasti kita hadapi dalam setiap pengambilan keputusan dalam kehidupan. Aku pun sebagai pelaku bisnis tidak lupt dari pemberi dampak pada lingkungan, sehingga setiap apa yang aku lakukan harus kumasukkan variabel tanggung jawab moral. Dalam bisnisku ada istilahnya biaya ekstenal, barangkali suatu saat aku bisa ceritakan tentang bagaimana biaya eskternal ini dihitung. moga tulisan ini, mudah dipahami oleh teman-teman pembaca dan membuka ruang hati kita sebagai manusia maupun pelaku bisnis termasuk Aku sendiri.
Terkait
Anda Mungkin Suka Juga

Etnoastronomi Gerhana Bulan dan Masyarakat Sunda
Maret 28, 2021
How can we get to Bosscha from jatinangor?
Juli 11, 2013