Keresahanku Terkait Konstruksi Sosial Terhadap Pendidikan Anak TK-PAUD
“Wah hebat ya anaknya sudah bisa menulis…”
“Anaknya Bu Siti jago euy udh bisa baca..”
“Itu loh si Dila, penjumlahan puluhan udah bisa..”
lalu si A, B , C sampai Z diberi nilai oleh kami para ibu-ibu yang sedang berkumpul. Cerita ini aku samarkan tapi nyata adanya. Menurutku tidak hanya dialami olehku secara berulang tiap hari, minggu, bulan, bahkan tahun ajaran lewat pun obrolan seperti ini selalu ada. Kemudian saat bubar dan kembali ke rumah masing-masing. Kami Ibu-ibu jadi terbawa perasaan, kepikiran, kesal, dan akhirnya keresahan itu terlampiaskan ke anak-anak kita.
Halo, Aku seorang Ibu dengan dua anak. Anak pertamaku kini kelas TK B berusia 6,5 tahun. Anak keduaku kini kelas TK A berusia 5,5 tahun. Jarak mereka memang hanya setahun. Dan ini pengalaman pertamaku sebagai seorang Ibu di dunia Orang Tua Wali murid sekolah. Sebagai orang tua, aku mencoba memahami antara ekspektasi, harapan, dan realita terhadap pendidikan anak-anak. Berbagai buku tentang pengajaran secara islam untuk anak, informasi terkait checklist perkembangan anak sesuai usianya, dan mana yang tepat dan kurang tepat menurut pakar pendidikn dan psikolog anak, masih terus kugali pengetahuannya. Namun ternyata, meski sudah banyak pengetahuan dan informasi yang berseliweran di media sosial maupun buku, pun dengan studi ilmiah yang terbukti berbasis riset, tidak mudah untuk diterima. Bila hari ini aku menerimanya, kemudian besok mempraktikannya, mungkin sebulan kemudian aku kembali dengan keresahan yang sama. Lalu aku berpikir dan mulai mencari akar dari keresahanku. Apakah karna aku takut anakku gagal? atau aku takut anakku tidak bisa menyaingi teman-temannya? atau aku takut dinilai sebagai orang tua yang tidak mampu mendidik anaknya? atau aku hanya jenuh dengan komentar orang-orang disekitarku?. Kasihan sekali anakku, pertanyaan-pertanyyan itu ternyata tidak ada yang memihak anakku untuk menikmati indahnya masa kecilnya.
Di masa-masa aku lupa akan keceriaan anakku yang semestinya dapat mereka nikmati di usianya ini, aku selalu berdoa untuk mendapat ketenangan diri. Seringkali Allah membalas dengan sebuah pertemuan. Pernah suatu ketika saat aku sedang resah-resahnya aku bertemu dengan seorang kepala sekolah. Beliu adalah Ibu dari temanku. Saat beliau memaparkan bagaimana bukti ilmiah kecerdasan anak, kemampuan anak di usianya, atau mungkin memaksakan kehendak kita pada anak, aku menjadi takut. Aku takut mengetahui bahwa yang aku lakukan selama ini merampas usia bermainnya. Aku takut memberikan anak-anakku lingkungan belajar yang menekan. Sejak kesadaran-kesadaran yang berulang itu terjadi, pada akhirnya aku memilih untuk terbuka pada anak-anakku. Setiap aku bercerita kepda suamiku yang seharusnya baik untuk anak-anak secara bukti ilmiah, anak-anak kubiarkan mendengarnya.
Aku masih ingat di usia 5,5 tahun sudah bisa membaca dan masuk sekolah dasar. Aku adalah siswa termuda di angkatanku. Zaman orangtuaku dulu, usia 6 kurang sudah bisa masuk SD dengan ragam syarat salah satunya mampu mengikuti pelajaran seperti baca tulis. Aku mungkin anak yang mampu belajar dengan mudah. Saat itu, studi tentang kemampuan perkembangan dan pendidikan anak tidak sebaik sekarang. Begitupun mungkin saat masanya anak-anakku, pengetahuan tentang pendidikan jauh lebih baik daripada sekarang. Sayangnya, studi ilmiah dengan ragam bukti dan ucapan para pakar di bidang pendidikan anak, psikologi, kesehatan, tidak mampu menandingi harapan orang tua dan berakibat merombak ekspektasi yang diidam-idamkan. Ya, capaian terbaik pada generasi sebelumnya akan menjadi standar acuan bagi generasi-generasi setelahnya. Mungkin aku memiliki capaian yang tinggi karna bisa membaca di usia 5.5 tahun dan sudah masuk SD. Namun apakah baik untukku? Mungkin saja iya karna aku bertahan dan berjuang. Mungkin saja tidak karna aku harus bertahan dan berjuang.
Bulan ini aku mendaftarkan anak pertamaku ke sekolah dasar. Sebelumnya aku mencari informasi dan survey ke calon sekolah tersebut. Aku tidak muluk-muluk mencari sekolah yang bagus prestasinya atau bangunanya. Aku cuman berharap menemukan sekolah dengan guru-guru yang memiliki pemikiran sama denganku minimal terkait standar kemampuan anak sesuai dengan usianya. Aku tidak mau kesalahanku akan terulang di sekolahnya nanti. Aku ingin sekolah dengan lingkungan yang membuat anakku senang dan tidak membebani.
Penerimaan siswa baru sekolah dasar kini tidak mewajibkan anak harus bisa membaca dan menulis. Tes Kematangan anak, ini yang menjadi penilaian bagi sekolah. Nyatanya, di beberapa sekolah dasar, peneriman murid baru tidak selalu mengadakan tes tersebut. Ada yang berdasar kuota (siapa cepat dia dapat) atau berdasar nilai tes yang indikatornya menjadi tinggi bila saingannya adalah anak anak yang bisa lebih dulu bisa membaca, menulis, dan berhitung. Sayangnya kita sebagai orang tua tidak bisa mengetahui secara detail indikator apa yang dipilih oleh sekolah tersebut. Sedangkan aku lebih memilih untuk kematangan anak. Misal bagaimana ketebalan garis dalam menggunakan pensil, dan hal hal lainnya yang jujur tidak terlalu banyak tau terkait kematangan ini, yang jelas bukan lancar calistung hehe.
Dan akhirnya…
Tumpah juga tangisanku setelah membaca hasil seleksi dan observasi penerimaan sekolah dasar untuk anak pertamaku. Kekhawatiranku akan anakku yg tidak sesuai standar sosial ini, diterima di sekolah yang kupilihkan. Melalui seleksi karena tidak semunya diterima. Kematangan anak untuk dinyatakan masuk SD bukan karena kemampuan calistungnya. Alhamdulillah, keresahanku ini memang tidak layak untuk dilanjutkan hahaaaaa….
Maka bisa diingatkan kembali bahwa adanya informasi tentang konsep golden age, maka itu bukan untuk kesempurnaan ekspektasi orang tua. Usia keemasan itu bisa kita isi dengan adab seorang muslim, kecerdasan emosional, eksplorasi potensi, dan hal-hal lainnya yang bermanfaat dan disukai anak anak seusianya.
Semoga tulisan ini bisa menemani hati para Ibu yang mungkin mudah resah seperti aku heheee, agar menjadi lebih tenang dan optimis melihat perkembangan anak-anak kita.