Ada Apa dengan Perempuan? (Bagian 1: Perempuan dan Lingkungan)
Sebetulnya sudah lama aku ingin menulis tentang perempuan dan lingkungan. Khususnya sebagai perempuan dan ibu rumah tangga seringkali membahas tentang perempuan sendiri menjadi hal yang tabu, pemikiran liberal, dan berujung “ya sudahlah terima saja memang seharusnya begitu” sehingga untuk menyenggol bahkan sedikit mendiskusikannya saja buru-buru untuk diberhentikan. Atau mungkin ga banyak orang sadar tentang mengapa bumi dijuluki sebagai Mother Earth bukan Father Earth?
Sebelum membahas tentang perempuan dan kaitannya dengan lingkungan, aku mau mencoba membahas tentang perempuan itu sendiri. Mungkin ga akan mendetail dan bahasannya dibuat seringan mungkin biar sedikit paham tentang fenomena perempuan khususnya di pedesaan karena pengamatanku selama ini yang hidup di pedesaan. Meski akan cenderung membahas perempuan di pedesaan, tapi beberapa akan ada yang relevan dengan perempuan di perkotaan.
Secara jenis kelamin, kita pasti tahu betul apa perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara fungsi biologis atau perbedaannya bisa dilihat dari atribut-atribut fisiologis. Sedangkan secara gender ini dibedakan berdasarkan hal-hal yang dilekatkan oleh masyarakat atau adat atau norma sebagai pembeda antara laki-laki dan perempuan. Seperti halnya nih yang paling sering kita tanpa sadar lakukan kalau ada anak laki-laki pasti tidak boleh memakai warna pink (ngaku siapa yang begitu ke anaknya? hehee…) Nah pelekatan pembeda ini dibentuk oleh masyarakat. Jadi pasti kita akan menemui fenomena yang berbeda di setiap daerah. Pemicu pembentukan gender ini faktor banyak. Bisa dari kecenderungan pemimpin daerah yang patriarki, kultur dan pantangan yang telah diajarkan secara turun temurun, atau bahkan faktor geografis juga dijumpai menjadi pemicu.
Jika berbicara dalam rumah tangga, komitmen dalam peran dan pembagian tugas, menurutku harus betul-betul dibahas antara suami dan istri. Karena faktanya, masih banyak perempuan yang tidak bisa mendapatkan hak-hak nya sebagai perempuan itu sendiri. Contoh sederhananya yang sering kita temui dalam pembagian tugas rumah tangga yang paling umum tanpa perlu disepakati karna mau tidak mau harus sepakat adalah ketika suami tidak mau ikut repot mengurus anak karena merasa sudah memiliki tugas mencari nafkah. Sedangkan istrinya yang tidak mencari nafkah maka bertugas mengurus rumah dan anak. Nah kasusnya, perempuan selalu menerima hal ini, padahal aku sebagai perempuan sendiri paham betul bagai mana mengurus rumah dan anak itu adalah tugas yang berbeda. Perempuan punya hak untuk mengajukan pembagian tugas yang lebih adil karena tentu setiap dari rumah tangga berbeda kondisinya, kalau perlu buat saja dalam bentuk angka. Lagipula mengurus anak itu bukan kewajiban perempuan saja yang lalu menjadi ibu, tapi juga kewajiban laki-laki yang kemudian menjadi ayah. Lebih kelewatannya lagi adalah bila suami dan istri sama-sama bekerja tapi tuntutan anak tetap menjadi kewajiban istrinya saja. Tuntutan kodrat okelah itu memang waib, tapi tuntutan gender, menurutku ini tidak tepat. Lagi, kita sebagai perempuan masih sering bias mencampuradukkan antara mana yang kodrat, mana yang kewajiban kita sebagai peran, dan mana yang seharusnya bisa menjadi hak kita. Jangan segan untuk mengkomunikasikan dengan baik kepada pasangan kita. Karena mengutarakan dan menyampaikan keinginan kita dalam rumah tangga itu juga hak kita. Sayangnya tidak banyak lelaki sebagai suami/ayah yang mungkin tau lelahnya seharian bersama anak/ merasa bukan kewajibannya atau ya dan lain-lain alasannya sehingga akhirnya enggan setuju adanya kebijakan cuti suami saat istri melahirkan. Maka tidak heran jika ini disebut sebagai diskrimasi yang dilakukan oleh suami sendiri.
Perlu diketahui, tentang perempuan-perempuan yang cenderung sulit/enggan/tidak bisa menyampaikan hak-haknya dalam berumah tangga, disebabkan oleh berbagai faktor yang kompleks dan bervariasi. Adanya Norma Sosial dan Budaya setempat seperti menciptakan harapan bahwa perempuan seharusnya fokus pada peran rumah tangga dan kurang mendorong mereka untuk menuntut hak-hak di luar peran tersebut. Kemudian Ketergantungan Finansial pada pasangan atau anggota keluarga lainnya dapat membuat beberapa perempuan enggan untuk menuntut hak-hak mereka karena takut menghadapi konsekuensi ekonomi atau kehilangan dukungan finansial. Pendidikan dan Kesadaran seperti tidak memiliki akses yang memadai terhadap pendidikan atau informasi tentang hak-hak mereka. Kurangnya pendidikan atau kesadaran tentang hak-hak gender dapat membuat perempuan tidak yakin atau kurang berdaya untuk menuntut hak-haknya. Ancaman Kekerasan atau Stigma Sosial ; Tekanan Budaya dan Agama; dan Tidak Adanya Dukungan Sosial sehingga dapat membuat perempuan merasa terisolasi atau takut untuk mengajukan haknya.
Kemudian fenomena selanjuttnya adalah upah. Di pedesaan masih membedakan nilai upah antara perempuan dan laki-laki. Kalau di kebun, perempuan dan laki-laki yang bekerja dengan jumlah jam kerja yang sama mendapatkan upah yang berbeda dimana perempuan mendapat 60 ribu rupiah dan laki-laki 80 ribu rupiah (ini kasus di desaku). Seharusnya penilaian upah ini bukan berdarkan “biasanya” tapi bisa dibuat penilaian oleh pemberi upah berdasarkan seberapa banyak yang terselesaikan, seberapa cepat, seberapa bagus, dan penilaian lainnya yang bisa kita ukur. Sehingga tidak lagi menjadi sebutan bahwa perempuan mencari nafkah hanya untuk menambah-nambah pendapatan keluarga. Keadilan upah ini harus tercerdaskan terutama bagi pemilik usaha/pemberi upah.
Perempuan dituntut memiliki multiperan. Di satu sisi perannya sebagai ibu rumah tangga, dituntut pula untuk aktif dalam sosial misal arisan, pengajian, kalau tidak pasti jadi bahan omongan tetangga. Kemudian jika bekerja juga jadi bahan omongan. Peran menjadi perempuan ini memang sulit. Mirisnya yang ngomongin ini ya perempuan juga. Maka kembali lagi, tidak heran jika perempuan itu sendiri tidak berani untuk mungkin ya sekedar mengajukan haknya pun perempuan yang terjebak dalam lingkungan yang tidak mendukung pasti akan kesal jika melihat ada perempuan lain yang kondisinya tidak sama dengannya.
Ada apa dengan Perempuan?
Antara Refleksi, Realita, dan Fenomena.bi