Ibu Rumah Tangga Lanjut Studi Magister, Kenapa Tidak?
Apakah mungkin kita sebagai Ibu Rumah Tangga dan punya impian untuk dapat melanjutkan studi magister? Pertanyaan ini seringkali menjadi kendala dalam diri. Bagi sebagian orang mungkin tidak asing dengan pertanyaan ini yang pada akhirnya menjadi penghalang kita sebagai perempuan terutama, harus mengesampingkan, menunda, atau bahkan melupakannya dan akhirnya menguap.Â
Keluh kesah menjadi seorang ibu rumah tangga itu sepertinya ga akan ada habisnya. Tiap dari kita pasti punya ceritanya masing-masing. Entah itu kontruksi sosial yang membuat stigma bahwa perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi karena pada akhirnya hanya mengurus rumah. Perempuan seharusnya di rumah saja mengurus suami, anak, dan rumah. Kemudian muncul pula celetuk-celetuk tetangga, “Emang mau kerja apa sih kok harus sekolah lagi?” atau “Kasihan anak-anak ditinggal ibunya.” aaahhh masih banyaaaaakkk lagi yang sebetulnya aku terlalu mikirin ini karena bisa bikin capek batin dan mental hehe…
Lalu, apakah ini membuatku terhenti? Oh tidak! Sebetulnya aku sudah merencanakan studi magisterku saat sebelum nikah. Aku menikah di usia 21 tahun tepat setelah aku lulus sarjana. Saat itu keluargaku mungkin menganggap aku terlalu muda untuk meminta menikah. Ayahku pun pernah menanyakan tentang studi magister begini kurang lebih pertanyaannya saat itu, “Memang tidak mau S2 dulu?”. Dan aku dengan polosnya menjawab, “Kan nanti bisa S2 setelah menikah.” Kalau diingat-ingat mudah sekali jawabanku saat itu (hehehee). Oh ya sebelum menikah aku menyampaikan keinginan-keinginanku nanti saat sudah berumah tangga. Dan dia mengiyakan. Aku hanya meyakini bahwa jodoh yang Allah berikan ini pasti akan bertanggung jawab, memegang komitmen, dan mensupport istrinya. Keyakinanku ini aku pegang dengan kuat atas kehendak Allah.Â
Daftar Isi
Mengapa Melanjutkan Studi Magister?
Halo perkenalkan namaku Zifa. Aku seorang Ibu Rumah Tangga dengan dua anak usia 4 dan 5 tahun. Suamiku karyawan swasta dan aku pun sedang merintis UMKM sejak tahun 2016 (temen-temen boleh mampir ke website usahaku ya benihbunbun namanya). Buatku, studi S2 seperti investasi. Tapi apakah aku suka belajar? Oh tidak juga. Tapi aku paling kesal dengan ketidaktahuanku dalam bidangku. Aku butuh atmosfer yang membuatku giat dan ingin tahu. Menurutku, nantinya kalau aku melanjutkan studi magister, pasti tidak akan ada ruginya. Apalagi bertemu dengan lingkungan baru yang memiliki pengalaman dan pengetahuan lebih banyak atau berbeda (membayangkannya saja sudah membuatku bergairah wehehehhee). Hal itu didukung oleh guruku yang senantiasa memberi semangat dan motivasi untuk melanjutkan studi. Kata beliau, bisa melangkah lebih tinggi pada jenjang pendidikan, akan melatih pendewasaan diri kita. Begitu pesan beliau. Saat itu aku pun penasaran apa maksud dari perkataan beliau. Beliau pun hanya menegaskan, “Nanti rasakan saja sendiri biar tau maksud saya itu apa.” Demikian akhirnya setelah dari jawabanku pada Ayah dan tekadku dari nasihat guruku.
Agustus 2023 lalu aku baru saja menyelesaikan studi magisterku di Institut Teknologi Bandung lulus tepat waktu dengan predikat Cumlaude. Predikat itu bisa kuraih sudah tentu karena bantuan Allah dan teman-temanku di kampus yang sangat support. Buatku di Magister yang tersulit bukanlah materi kuliahnya, tapi bagaimana manajemen diri, waktu, dan komunikasi dengan berbagai pihak. Yap, segitu berperannya dalam kemudahan proses perkuliahan.
Disini, aku akan bercerita tentang pengalamanku dan yang menurutku bisa jadi pertimbangan saat sebelum memilih jurusan, selama perkuliahan, dan persiapan kelulusan.
1. Memilih Program Studi Magister
Pemilihan program studi menjadi hal pertama yang perlu dipertimbangkan untuk kita sebagai ibu rumah tangga. Dan ini tentu sesuai dengan kapasitas masing-masing. Sebagai contoh, aku dirumah dengan dua anak tinggal di rumah tipe 32. Jujur untuk urusan rumah aku masih bisa handle dari masak dan kebersihan rumah. Untuk kebun biasanya 2 minggu sekali panggil orang ke rumah. Karena kapasitasku di bidang biologi saat S1 dan minatku kini ke arah sumber daya hayati, tentu aku mencari program studi yang berkaitan dengan hal itu dan ditambah mencari kampus yang mudah dijangkau (biaya dan lokasi). Untuk lokasi aku memilih ITB meski ada UPI yang lebih dekat tapi program studi magisternya belum ada yg pas di hati. ITB juga jadi pilihanku karena sebetulnya dulu adalah kampus impianku saat S1 dan kalau-kalau aku keterima disana, jadi bisa sekaligus mengajak ayahku nostalgia masa kuliahnya hehee.
Aku mencoba apply di tahun 2018 waktu itu mendaftar program studi pembangunan. Persyaratan sudah kucicil seperti tes toef, TPA bapennas, dll. Untuk beasiswa saat itu terpikir untuk apply bila nanti sudah menjadi mahasiswa ITB. Karena di ITB ada fasilitas beasiswa untuk mahasiswanya yang saat itu aku belum tau banyak juga tentang informasinya. Yang kupikirkan saat itu adalah bisa diterima. Btw, kondisiku saat itu sedang hamil anak kedua dimana anak pertamaku usia 9 bulan. Mudahnya, jika aku keterima, aku langsung ngajuin cuti satu semester. Qodarullah karena aku tidak banyak mencari tahu tentang informasi penerimaan, sehingga ada salah satu persayaratan yaitu pas foto yang tidak bisa terupload. Disitu aku udh berusaha upload dengan server berbeda namun masih belum bisa. Pikirku oh nanti saja dikasih pas foto cetak pada saat tes tulis (emang sotooyy abis haha). Hasil dari ke sotoy an ku ini sudah dipastikan tidak lolos tahap 1. Meski sudah melapor tapi ini memang keteledoranku karna tidak langsung konfirmasi ke bagian penerimaan mahasiswa baru. Dari sini aku sadar bahwa aku harus sabar dan mungkin ini belum waktunya. Seakan-akan alasan keteledoranku ini dibuat agar aku fokus untuk membersamai anak pertama dan calon anak keduaku. Pelajarannya juga adalah jangan lupa untuk aktif terutama terkait birokrasi seperti ini.
Apakah aku menyerah? Oh tidaak…
Setelah melahirkan anak kedua dan masuk usia 3 tahun dan anak pertamaku usia 4 tahun, datanglah wabah covid. Aku masih ingat betul saat itu suamiku pulang istirahat kantor dan memintaku untuk mengecek kembali persayaratan dan waktu pendaftaran mahasiswa baru ITB. Setelah kucek, ternyata ada beberapa persyaratan yang dipermudah (diubah syaratnya menjadi syarat seminar tesis karena kondisi covid). Lalu suamiku memintaku untuk mempertimbangkan agar daftar kuliah di gelombang itu. Sebetulnya aku berencana daftar kuliah pas anak-anak SD. Gatau kenapa setelah suamiku nge-ide untuk daftar saat itu aku sholat istikhoroh dan memantapkan hati untuk daftar. Program studinya kuubah ke biomanajemen. Kenapa? karena ternyata di program studi ini cukup banyak membahas tentang manajemen bisnis bidang sumber daya hayati dan ini menjadi peluangku untuk upgrade pengembangan bisnisku. Bismillah daftar dan Alhamdulillah diterima.
Pertimbangan pemilihan program studi ini juga bisa teman-teman pikirkan dari aspek materi perkuliahannya. Teman-teman bisa lihat dari kurikulum yang ditawarkan sehingga bisa terbayang nantinya akan memilih tema tesis apa dan dimana. Bisa tanya-tanya pada teman yang sedang berkuliah dan alumnus program studi tersebut. Ini betul-betul jadi peganganku untuk meyakinkan diri bahwa insyaallah program studi ini tidak sulit buatku selama kuliah dan untuk lulus nanti.
2. Selama Perkuliahan
Oke masuk ke bagian realita selama perkuliahan. Perlu teman-teman ketahui, di era sekarang banyak sekali fresh graduate S1 yang memutuskan untuk lanjut S2. Di ITB sendiri terdapat program fast track dimana mahasiswa S1 yang sesuai kriteria dapat melanjutkan S2 dalam kurun waktu 1 tahun. Jadi temen-temen jangan kaget kalau nanti di kelas teman-teman kita mungkin jauh lebih muda dari kita. Dari 14 orang di angkatanku, kami hanya bertiga yang sudah berkeluarga. Dan aku sudah memtuskan untuk tidak menutup diri alias mari mencari teman hehe.
Berteman itu membuahkan empati. Empati memberikan kemudahan. Jujur selama perkuliahan aku banyak sekali dibantu sama temen-teman angkatanku. Meski kami beda generasi, aku ditemukan oleh temen-temen angkatan yang bisa saling memahami. Tugas kelompok adalah satu hal yang membuatku cukup menguras energi. Bagaimana tidak, kami yang sudah punya ideal masing-masing kini harus membuat kesepakatan bersama. Nah disini, peranku yang mungkin cukup tua (hehee) mencoba untuk mengalah. Tidak hanya tugas kelompok, aku selalu berusaha untuk berkompromi dengan diriku sendiri termasuk tugas individu. Iya, aku ga pernah ambisius dalam menyelesaikan tugas. Ambisiku sudah terkuras duluan dirumah mengurus rumah tangga. Selama perkuliahan ini juga membuat usahaku sedikit lambat berjalannya. Yang penting eksistensinya masih ada meski cashflownya hanya cukup untuk tutup lubang.
Selain berkompromi dengan diri dalam mengerjakan tugas, aku aktif bercerita ke sesama teman kelas. Mungkin nampak sepele, tapi saat kita membuka diri untuk berdiskusi tentang kesulitan memahami materi kuliah ternyata menjadi peluang bagiku untuk mendapat kemudahan dalam belajar. Seringkali teman kelas membuka forum diskusi dan bertukar informasi agar kami sekelas memang betul-betul paham dengan materi perkuliahan ini. Tentu di S2 kita yang harus aktif belajar karena waktu di kelas memang tidak cukup untuk menggali lebih dalam. Sedangkan aku yang ibu-ibu ini, baca buku satu bab saja baru paham setalah dibaca berjam-jam (lemot mode on wkwk).
Saat menjalani perkuliahan meski di rumah (daring/online), aku membuat jadwal agenda belajar anak-anak. Saat hari perkuliahan yang padat atau aku butuh untuk fokus memahami materi, aku meminta tetanggaku yang bisa kupercaya untuk diajak kerumah beliau dan belajar disana. Nah, sebisa mungkin temen-temen rantauan kayak aku, jalin kenalan di sekitar rumah tuk menjadi teman dan keluarkan sejumlah uang untuk membiayai waktu mereka bersama anak-anak kita. Aku bersykur banget rintisan usahaku ini membuat aku dipertemukan dengan orang yang mampu menjaga anak serta pernah berpengalaman jadi guru TK.
Oh ya, ini penting banget nih. Suami. Di rumah kan ga cuman aku sama anak-anak. Suami itu juga bagian dari rumah tangga. Ajak komunikasi suami untuk meluangkan waktunya menemani anak-anak tidur dan bermain. Sampaikan kalau kita ada tugas sullit dan butuh waktu fokus. Beri estimasi waktu atau rencana dari jam berapa sampai jam brapa sehingga suami pun bisa bersiap untuk meluangkan waktunya. Meski suami adalah orang kesayangan kita, jangan lupa minta tolong dengan cara yang baik dan beri perhatian lebih saat sudah membantu kita (yah apresiasi biar bisa dimintai tolong lagi dan lagi hehehee).
3. Persiapan Kelulusan
Sebelum menuju kelulusan, tentu kita harus menyelesaikan tugas akhir terlebih dahulu. Perlu dicatat, persiapan kelulusan tidak hanya tentang tugas akhir atau thesis melainkan kemudahan urusan birokrasi. Ada beberapa hal yang perlu kita siapkan. Di kampusku pembimbing didapat berdasar tema kelompok keilmuan tugas akhir yang akan kita pilih. Nah, tema kelompok keilmuan yang aku pilih yaitu tentang rekayasa sosial dalam manajemen SDH pada usaha pertanian. Jujur, dari awal masuk perkuliahan aku banyak bertanya kepada senior-senior yang lulus cepat/tepat waktu dan juga yang lama lulusnya. Dari situ aku ketahui salah satu faktor penentu cepat tidaknya kelulusan adalah dosen pembimbing (jadi pilihlah tema penelitian yang sekiranya tidak mendapat dosen pembimbing yang bertanda kutip hehee…).
Dari awal perkuliahan, selama perkuliahan, waktu menuju persiapan kelulusan, kita wajib membuat timeline. Seperti jatah kita bisa melakukan seminar, atau kapan terakhir mengajukan sidang, hal-hal yang bersifat teknis perlu kita beri tanda merah. Pun target berapa sks untuk syarat seminar juga nilai-nilai yang mungkin bermasalah dalam sistem, harus kita cek secara berkala. Kadang hal-hal teknis inilah seringkali terlupa dan justru menjadi penghambat dalam birokrasi sebagai syarat kelulusan. Begitu juga dengan persyaratan publikasi. Ini biasanya dianggap ringan sehingga dikerjakan mepet deadline. Padahal tidak mudah untuk diterima belum lagi jurnal publikasi punya time schedule nya sendiri sehingga kita harus pintar-pintar mencocokkan antara timeline kita dengan timeline jurnal publikasi.
Kembali lagi dari kondisiku yang ibu rumah tangga dan tidak mau jauh dari suami dan anak-anak, aku benar-benar mencari tema penlitian yang bisa kulakukan di sekitar rumahku. Paling tidak lingkup desa. Itulah yang aku pikirkan. Selain karna lebih hemat budget, mobilisasi tidak tinggi, pun akses mudah. Disinilah aku belajar sebagai mahasiswa S2 bahwannya begitu banyak permasalahan yang ada di sekitar kita karna umumnya kita tidak peka, tidak peduli, atay pura-pura tidak tahu.
Akhir kata, pengalaman ini aku tulis sebagai perantara energi positif bagi teman-teman yang kini sedang ibu rumah tangga dan mungkin sedang jenuh atau pernah punya keinginan bersekolah lagi namun banyak pertimbangan yang memojokkan diri kita sendiri. Belajar itu tidak ada ruginya. Itu prinsipku. Buatku, menantang diri ke level yang berbeda menjadi hidup lebih seru. Capek? Pasti. Tapi sesudahnya, bahagianya tiada tara. Selama masa persiapan pendaftaran sampai kelulusan, tidak akan mudah bila kita tidak berserah diri pada Allah. Percayalah bahwa rencana Allah selalu yang terbaik. Terkadang kita mengingkan yang menurut kita baik tapi belum tentu baik bagi kita menurut Allah Sang perencana. Doa anak-anak, suami, dan ayah ibuku. Alhamdulillah… Semoga berkenan bagi para pembaca.