Takut menjadi seorang Ibu?
Alkisah dahulu kala, generasi-generasi sebelumnya. Ada seorang perempuan yang mau tidak mau ditakdirkan menjadi seorang Ibu. Mungkin dia tidak pernah terpikir untuk menyandang gelar itu, keluar rumah saja tidak pernah, apalagi menggaet pria untuk mengawininya hingga memiliki anak? Tapi apalah daya. Ia hanya yakin bahwa Rabb-nya memberikan ketetapan itu untuk memberitahu hambaNya atas kebesaranNya. Ya, perempuan itu bernama Maryam. Seorang perempuan yang kelak menjadi Ibu dari seorang Nabi; Isa ‘alaihissalaam.
Betapa menggemaskannya jika melihat anak-anak kecil yang ceria, lucu, tertawa bahagia. Rasanya ketika menikah nanti, ingin segera memiliki anak; menimang-nimang, menggendong, mencium, dan pasti masih banyak hal menyenangkan lainnya yang bisa dilakukan bersama si kecil. Namun ternyata, untuk mendapat si kecil, harus melewati ragam rintangan terlebih dahulu. Dari masa kehamilan dan liku-likunya selama 9 bulan 10 hari. Bahkan setelah itu, detik-detik melahirkan pun harus kita lalui dengan tenaga yang ekstra. Bayangkan saja ketika Maryam yang mengandung selama 9 bulan itu, tanpa didampingi seorang suami. Ia lewati sendiri. Menjauh dari banyak orang. Bahkan saat melahirkan pun ia lalui sendiri. Betapa tangguhnya maryam, menjalani hari demi hari bersama calon si kecilnya dan ia lalui sendiri. Namun Rabb nya terus mendampinginya. Tentu saja, Maryam selalu diawasi malaikat-malaikat Alloh sehingga dengan izinNya, ia mampu melalui semuanya.
Jika sekarang ditanya, bagaimana menjadi seorang Ibu?
Menyenangkan. Ujarku. Aku tak pernah membayangkan yang sedemikian rupa. Merawat sedari lahir, mengganti popok, menimang-nimang, hingga mengajak bermain. Jujur saja, aku ini manusia yang cuek. Ketika anak hadir dalam kehidupanku, bertahap sifat-sifat individualisku pergi jauh. Anak menangis, tak mungkin kuabaikan. Anak bosan di rumah, tak mungkin juga kubiarkan. Mau tak mau, belajarlah aku bernyanyi. Paling tidak mereka tidak bosan kalau bernyanyi sendiri karena ada Ibunya menjadi teman karokean. Daaaaaan begitu cepat. Hadir pula anak kedua. Ternyata ketika anak kedua ini hadir, dan jarak yang amat sangat dekat, mulai muncul sebuah perilaku yang tidak kuinginkan di rumah ini. Iya betul!ketakutanku menjadi seorang ibu.
Apa yang kamu takutkan menjadi seorang Ibu?
“Aku takut khilaf.” Buatku khilaf itu banyak macamnya. Dari yang mengabaikan anak, memarahi, sampai melakukan kekerasan. Mungkin wajar seorang Ibu kesal terhadap perilaku anak-anaknya. Tapi ke-wajar-an itu justru membuat perilaku ank-anak menjadi tidak wajar. Aku takut jika aku khilaf. Sadar maupun tak sadar, menjadi Ibu adalah tempat berkaca perilaku anak-anaknya. Rasul mengajarkan kita untuk berperilaku lembut kepada anak-anak. Luqman mengajarkan kita untuk bersikap bijak pada anak-anak. Bahkan ada suatu cerita yang mengisahkan untuk menggantung alat cambuk di rumah. Gunanya bukan untuk mencambuk, tapi terlihatnya alat cambuk itu untuk mengingatkan kita jangan sampai alat cambuk tersebut sampai kita gunakan untuk melukai anak-anak kita. Ujian kesabaran yang sebenarnya setelah kita menikah. Ada atau belum adanya anak adalah ujian.
Bagaimana ketika kita sebagai Ibu lalu kita diberi sakit?
Meski berat, kaeena saat sakit maka rumah dan seisinya akan seperti sakit pula. Rumah berantakan, anak-anak tak terurus belum lagi suami dan anak-anak juga butuh sarapan pagi sedangkan kita belum membuatkannya. Namun sakit itulah penggugur dosa kita. Mungkin Alloh berikan rasa sakit pada kita agar kita mengingat kekhilafan apa saja yang sudah kita lakukan pada anak-anak kita, amanah yang Alloh titipkan kepada kita.
Maka bagaimana menjadi seorang Ibu?
Masa depan akhlaq anak-anak kita ada di tangan kita. Beri contoh yang baik. Sabar, ikhlas, dan berperilakulah yang lembut.
Sulit?
Sama. Aku juga masih banyak belajar.
Lembang 29 Januari 2019
14.30 wib