Pemanenan Bambu oleh Mayarakat Desa Karangwangi
UMUR TEBANG BAMBU
Secara umum masyarakat menebang bambu sesuai dengan kebutuhan pemanfaataan pada bambu tersebut. Bambu yang digunakan untuk tali-temali seperti kerajinan anyaman, dipilih bambu yang berumur minimal saadi atau satu tahun yaitu sudah muncul satu adikannya sehingga kakaknya sudah dapat ditebang atau bambu tersebut telah menghasilkan rebung satu kali di musim penghujan. Jenis bambu yang dapat ditebang pada umur saadi adalah Awi Tali. Pada umur saadi keadaan bambu yang masih memiliki tingkat kelenturan tinggi serta tidak terlalu tua. Sedangkan
untuk kebutuhan bahan bangunan dan furnitur, bambu yang dipilih adalah bambu yang kolot atau tua yaitu lebih dari setahun/saadi dan dibawah empat tahun/opatadi. Menurut masyarakat, bambu yang tua dapat dilihat cirinya dengan salumpit atau pelepah pada setiap ruas mulai berguguran, terdapat bercak hitam atau abu-abu pada batang bambu atau biasa disebut ngahawuk, dan daun rangrangan atau jarang. Menurut Arinasa dan Peneng (2013), secara fisiologi bambu mulai dipanen dengan kisaran umur 3-4 tahun, tergantung pada jenis dan kegunaannya. Tanda-tanda bambu tua yang siap dipanen adalah rendahnya kadar air yang terkandung di batang serta daun semakin mengecil dan jarang.
Masyarakat sebagian besar menebang bambu berumur 2-3 tahun. Menurut masyarakat, saat umur tersebut bambu sudah baik digunakan (tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua). Adapun masyarakat yang menggunakan bambu berumur 1-2 tahun digunakan untuk jenis pemanfaatan dalam bentuk kerajinan sehingga masih membutuhkan batang bambu yang agak muda. Masyarakat yang menebang bambu berumur 3-5 tahun digunakan sebagai bahan baku kokoh sehingga membutuhkan jenis bambu yang berumur tua.
WAKTU TEBANG BAMBU
Penebangan bambu yang paling baik adalah di musim halodo atau kemarau. Pada musim ini, bambu berada dalam kondisi yang kering (kandungan pati padi getah/air bambu rendah) sehingga tidak mudah diserang hama. Selain itu, pada saat musim kemarau, bambu dewasa tidak sedang mengasupi/memberi nutrisi kepada rebung (Rabik et al. 2009). Sedangkan menurut masyarakat, apabila akan menebang di musim bukan kemarau, penebangan yang baik dilakukan sebelum ada atau tumbuhnya iwung atau rebung baru tepatnya yaitu sebelum masuk bulan ketiga musim hujan dan dilakukan pada saat setelah matahari tergelincir atau sekitar pukul 1 siang keatas. Hal tersebut dikarenakan air yang terkandung di dalam bambu tersebut sudah mulai turun sehingga daging bambu yang kering tidak mudah diserang hama sehingga diyakini bahwa bambu akan awet serta tidak cepat melepuh. Sedangkan menurut Rabik et al. (2009) pada bulan ketiga musim hujan, tunas rimpang mulai menjadi rebung muda kecil.
Masyarakat sebagian besar menebang bambu tidak mengikuti waktu yang seharusnya. Penebangan secara tidak tentu dilakukan karena sesuai kebutuhan. Sedangkan masyarakat yang menebang di musim kemarau menyatakan bahwa apabila menebang bambu di musim hujan maka bambu mudah lapuk dan juga rebung sedang tumbuh-tumbuhnya serta mendapat nutrisi dari batang bambu lainnya. Penebangan bambu di siang hari dilakukan karena bila penebangan saat pagi hari, kandungan airpadabambumasihcukupbanyak danakan mudahterserang hama dalam penggunaannya sehingga sianghari adalah waktu yang tepat karena kandungan air sudah turun.
METODE TEBANG BAMBU
Penebangan bambu dilakukan dengan dua cara yaitu tebang pilih atau tebang habis. Pada metode tebang habis, semua batang bambu ditebang baik yang tua maupun yang muda sehingga kualitas batang bambu yang diperoleh bercampur antara bambu yang tua dan yang muda. Menurut Hartanti (2010), metode ini juga menimbulkan pengaruh terhadap sistem perebungan bambu sehingga kelangsungan tanaman bambu terganggu karena sistem perebungan bambu dipengaruhi juga oleh batangbambuyang ditinggalkan. Pada beberapa jenis tanaman bambu, metode tebang
habis menyebabkan rumpun menjadi kering dan mati. Pada jenis yang lain masih mampu menumbuhkan rebungnya, tetapi dengan diameter rebung tidak besar dan jumlahnya tidak banyak. Pada metode tebang pilih, merupakan bambu dipilih yang tua dan siap untuk ditebang. Kegiatan tebang pilih dilakukan untuk menjaga keberlanjutan dari rumpun bambu. Penelitian tentang hubungan sistem penebangan dengan perebungan telah dilakukan oleh Sudiono dan Soemarna (1964) dalam Krisdianto et al. (2009). Penelitian dilakukan pada hutan bambu tanaman denganmengklasifikasikan batang-batang bambu ke dalam generasi-generasi yaitu : generasi I (berumur 3 – 4 tahun), generasi II (berumur 2 – 3 tahun), generasi III (berumur 1 – 2 tahun) dan generasi IV (berumur 0 – 1 tahun). Pengklasifikasian ini tidak menyertakan batang dalam suatu rumpun yang lebih dari 4 tahun, karena umumnya batang bambu pada umur tersebut sudah ditebang karena sudah masak tebang. Informasi yang diberikan adalah bahwa sistem tebang pilih yang disarankan untuk dilakukan adalah yang pertama menebang semua batang generasi I, kedua menebang batang generasi I + II + III dan yang ketiga menebang semua batang generasi I + II.
Selain itu perlu diperhatikan bahwa metode penebangan bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan perebungan suatu tanaman bambu, melainkan dipengaruhi juga oleh banyaknya batang yang ditinggalkan pada tiap rumpun. Batang yang sebaiknya ditinggalkan dalam suatu pemanenan adalah generasi II, III dan IV dari suatu rumpun yang dipanen, dengan perbandingan generasiIVlebihbanyak yang ditinggalkan daripada generasi lainnya.
Sebagian besar masyarakat menebang dengan cara tebang pilih. Tebang pilih dilakukan karena bambu yang ditebang disesuaikan dengan kebutuhan sehingga tidak akan merusak pertumbuhan bambu lainnya. Masyarakat juga melakukan tebang pilih dan habis. Tebang habis dilakukan karena bambu diborongkeun atau dijual secara komersial ke pemborong dan dibawa ke kota. Tebang habis memberikan nilai ekonomi tambahan bagi masyarakat meskipun masyarakat mengetahui bahwa bambu yang ditebang habis akan memberikan dampak tidak baik bagi pertumbuhan bambu selanjutnya. Salah satu ciri penting bambu adalah dapat dipanen secara terus menerus, tanpa penanaman kembali. Ini berarti bambu dapat terus memberikan fungsi lingkungannya dan pada saat bersamaan dimanfaatkan manusia dalam berbagai skala ekonomi, dari sektor pedesaan hingga industri (Rabik et al.2009).
TEKNIK TEBANG BAMBU
Teknik menebang harus dilakukan secara cermat. Sebelum pergi ke kebon untuk menebang, sehari sebelumnya penebang harus mempersiapkan bambu seperti apa yang dibutuhkan. Penebang harus berangkat di waktu yang baik dalam menebang bambu. Peralatan yang dibawacukup satu buah bedog. Sesampai di kebon dan tertuju pada salah satu dapur atau rumpun bambu, penebang milih atau memilah-milah/menaksir batang bambu yang tepat sesuai dengan yang dibutuhkan. Setelah dipilih bambu yang akan ditebang, penebang harus memerhatikan arah condong batang bambu yang akan ditebang serta memosisikan diri agar tidak tertimpa bambu yang ditebang saat menebang. Adapun masyarakat meyakini pamali apabila menebang bambu dengan berdiri yang mengakibatkan sakit bagi penebang tersebut sehingga posisi menebang yang baik yaitu dengan duduk. Batang bambu ditebang musti dempes atau harus sebawah mungkin atau bila memungkinkan menempel dengan tanah. Tunggul bekas penebangan harus dirapihkan atau diisi dengan tanah. Hal ini dikarenakan apabila terdapat air yang terkumpul di tunggul, akan menginfeksi bambu (melalui bakteri, jamur, dan parasit) dan juga menjadi pembiakan nyamuk
(Rabik et al. 2009). Bambu yang sudah ditebang, dibuang bagian ujungnya/congo serta cabang batang dan diambil bagian yang dibutuhkan yaitu bagian tengah kebawah. Kemudian setelah terkumpul beberapa batang bambu yang dibutuhkan, batang bambu disusun dalam bentuk trapesium. Susunan bambu tersebut diikat dengan tali berupa serat batang bambu yang diiris tipis. Setelah diikat, bambu-bambu tersebut dipaseuk yaitu celah sisi antara bagian atas bambu dan bagian bawah bambu diberi pasak dengan kayu/belahan bambu berukuran kecil. Hal ini dilakukan agar pageuh yaitu kencang dan padat sehingga mempermudah penebang dalam membawa batang-batang bambu tersebut.
Menurut masyarakat, dahulu sebelum menebang bambu, terdapat ritual yang harus dilakukan seperti mengetuk-ngetuk batang bambu tiga kali sambil mengucapkan,”ulah kadieu, tong ngaganggu” yang memiliki arti pergi dari sini makhluk penghuni. Hal ini dilakukan karena masyarakat meyakini bahwa pohon-pohon besar seperti bambu dihuni makhluk ghaib.
tulisan ini pernah dipublikasikan dalam jurnal:
Karangwangi Peoples Local Knowledge of Bamboo and Its Role: Implications for Management of Cultural Keystone Species Journal BIODIVERSITAS vol. 18 No. 1 January 2017 (275-282), second writer
catatan:
Awi=Bambu (Bahasa Sunda)
Referensi sumber sengaja tidak dicantumkan.
0 Komentar
Ping Balik: