Mengapa Manusia Cenderung Enggan Melakukan Perbaikan atau Bahkan Perubahan?
Pagi ini, aku akan membuat tulisan tentang opiniku bagaimana melihat kondisi masyarakat dalam menentukan pilihannya pada studi kasus pemilu di Indonesia. Sebuah refleksi diri mengingat ini adalah ketiga kalinya aku menjadi peserta pemilu. Pertama kali ikut pemilu, sebetulnya tidak merasa “ada apa-apa” karena masa itu arus informasi yang terbatas pun aku yang tidak berusaha untuk mengetahui profil para capres maupun cawapres. Ingat betul bagaimana aku memilih berdasarkan partai yang sejak dulu dipilih oleh masyarakat di sekitar tempat tinggalku.
Jika dilihat pada kondisi periode pemilu 2019 dan 2024, akses informasi menjadi sangat mudah. Arusnya pun tak terbatas. Maka setiap dari kita mungkin mayoritas akan memilih untuk membaca atau mendengar yang ingin kita dengar. Bukan tentang fakta dan data yang ada tapi juga tentang akses komentar yang terbuka bagi siapapun yang tidak bisa dibedakan mana kebenarannya. Atau mungkin saja sebetulnya kita tahu tentang kebenaran fakta dan data tersebut, tapi kita enggan untuk menerimanya. Kecenderungan manusia dalam memilih berita yang ingin didengarnya saja, ternyata dapat dijelaskan berbagai faktor seperti psikologis dan kognitif dengan pendekatan teori psikologi dan komunikasi. Pada Teori Konfirmasi Kognitif (Cognitive Confirmation Bias) menyatakan bahwa manusia cenderung mencari, menginterpretasikan, dan mengingat informasi sesuai dengan pandangan atau keyakinan yang sudah mereka miliki. Ini merupakan bentuk konfirmasi kognitif, di mana orang lebih cenderung mencari informasi yang memvalidasi sudut pandang mereka dan mengabaikan atau menolak informasi yang bertentangan. Hal ini mempengaruhi sesorang alam memilih media seperti penjelasan pada Teori Pemilihan Media (Media Selection Theory) dan adanya algoritma media sosial yang dijelaskan dalam Teori Filter Gelembung (Filter Bubble Theory). Kemudian bila ada informasi yang bertentangan dengan keyakinan sesorang maka akan cenderung menolak karna adanya ketidaknyamanan kognitif dan disonansi (Teori Penolakan Kognitif (Cognitive Dissonance Theory)). Ditambah lagi adanya keinginan untuk mempertahankan hubungan dengan kelompok sosial tertentu sehingga cenderung mencari informasi yang memperkuat identitasnya dan ini juga dijelaskan dalam Teori Identitas dan Kelompok Sosial. Kecenderungan ini dapat bervariasi di antara individu dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk budaya, pendidikan, dan pengalaman hidup. Penting untuk setiap dari kita sadar akan adanya kecenderungan kita dalam memilih atau mendapatkan informasi, karena inilah yang membuat kita jadi lebih terbuka terhadap ragam informasi. Netralitas mutlak itu sangat sulit terjadi, jadi se netral-netralnya kita pasti ada keberpihakan. Wajib bagi kita untuk tau dimana posisi kita dan selayaknya perilaku kita dalam beretika.
Kemudian tentang kenyataan masyarakat bahwa mungkin sebenarnya tau kebenarannya, tapi cenderung untuk enggan memilih perbaikan atau bahkan perubahan. Beberapa faktor penyebab yang paling umum di masyarakat adalah terkait ketidakpastian. Kenyamanan yang didapatkan akan membuat masyarakat khawatir atau takut bila ada hal-hal yang baru. Tidak hanya tentang regulasi atau kebijakan pemerintah, adanya perubahan dalam rutinitas keseharian saja dapat menimbulkan kekhawatiran. Ini adalah respon alami manusia yang dapat dijelaskan dalam faktor psikologis, emosional, dan sosial. Teori psikologis dan sosiologis dapat menjelaskan kecenderungan manusia untuk enggan memperbaiki atau berubah. Menurut Teori keseimbangan (Balance Theory), manusia cenderung mencari keseimbangan dalam pikiran dan perasaan mereka. Ketika ada perubahan, itu dapat mengganggu keseimbangan yang telah ada dan memicu resistensi. Pada Teori Dukungan Sosial (Social Support Theory) manusia cenderung mencari dukungan sosial dan identitas dari lingkungan sekitar mereka.
Refleksi diri dari yang kualami, saat pemilu 2019, adanya calon 1 dan 2 membuatku memilih bila tiak ingin 1 mau tidak mau pilih 2 atau pun sebaliknya. Sasaran perang pun ya pada dua pilihan tersebut. Kini di pemilu 2024 adanya 3 calon seharusnya membuat kita kesulitan untuk memilih. Jika tidak ingin 1 maka kita harus pilih antara 2 atau 3. Jika tidak ingin 2 maka kita harus memilih antara 1 atau 3. Begitu juga ketika kita tidak ingin pilih 3. Adanya 3 pilihan justru membuat kita tergerak untuk mencari informasi lebih luas dan membuka ragam sudut pandang kita. Masyarakat yang ternyata cenderung khawatir adanya perbaikan bahkan perubahan tentu menjadi celah untuk menyediakan fasilitas kenyamanan. Maka, lanjutkan saja. Detik aku menulis ini, aku baru sadar pengaruh sosial dan psikologis pada permainan politik ini. Ternyata politik semudah itu.
Tulisan ini juga kusampaikan kepada diriku yang tentu memiliki keberpihakan. Setidak sukanya aku terhadap sesuatu, kita tidak boleh menjadi sebenci itu. Begitu sebaliknya, kesukaanku terhadap sesuatu tidak boleh menjadi secinta itu. Yang haqiqi mencintai hanya kepada Allah. Kebencian seseorang terhadap seseorang lainnya juga tidak diajarkan dalam adab agama. Aku sebagai manusia masih banyak luputnya. Oleh karena itu, mari saling mengingatkan. Setidaknya kita sadar kalau kita punya kecenderungan, dan kita tau kita memilih karena apa, dengan apa, dan untuk apa.
Mau sampai kapan kita enggan untuk melakukan perbaikan atau bahkan perubahan?
Lagi-lagi ini adalah kecenderunganku, karena menjadi netralitas mutlak sebagai manusia itu tidaklah mudah.
Refleksi Diri Menjelang Pemilu 2024