Menepati Janji
Malam jumat. Seperti biasa yasinan di masjid menjadi rutinitas di kampungku, selain sebagai doa dan wasilah untuk keluarganya yang sudah menjadi ahli kubur, rutinitas ini sekaligus sebagai silaturahim dan mengajarkan cara baca ayat-ayat quran yang baik dan benar. Aku, suamiku, dan Semi tentu ikut mengaji bersama. Ditemani dengan makanan gorengan kriuk sebagai penutup pertemuan kita.
Malam berlalu hingga memasuki dini hari. Malam-malam di Lembang saat ini memang lagi dingin-dinginnya. Saat perutku sakit karena menahan pipis atau katanya karena kandung kemihnya tersenggol janin, maka terus-terusan ingin ke kamar mandi untuk buang air kecil. Belum lagi efek gorengan malam yang membuatku juga harus buang air besar. Sesekali, duakali, hingga tigakali. Batinku, beberpa kali terasa seperti kontraksi, tapi bisa jadi ini hanya sakit perut biasa. Saat subuh datang, rasa sakit perutnya makin menjadi-jadi. Sekarang aku yakin bahwa ini kontraksi akan melahirkan. Sedikit sering teratur dan rutin tapi tidak sesakit saat kontraksinya anak pertamaku. Setelah melaksanakan sholat subuh, aku terngingang-ngiang oleh janji yang telah kubuat dengan anakku, bahwa aku akan mengkhatamkan quranku sebelum anakku lahir. Entah mau disebut sedikit drama, saat itu juga aku meminta bantuan suamiku untuk membantu mengkhatamkan bacaanku yang kurang 3 juz lagi. Bagiku, janjiku dengan anakku ini, seolah-olah sudah seperti janjiku dengan Tuhanku yang wajib kutepati. Sambil kutahan rasa sakitnya gelombang cinta kontraksi, dengan posisi yang berubah-ubah dan berpindah-pindah, kurang lebih 40 menit kami mampu menyelesaikan 3 juz dan ditutup dengan bacaan doa khotmil quran olehku. Dan Semi, anakku yang pertama, ikut membersamai khataman kami.
Berjalannya waktu, memersiapkan tenaga dan mental, kuberi asupan kurma untuk diriku. Suamiku pun merebuskan telur ayam kampung dan juga madu. Sambil monda mandir, menhentakkan kaki, sujud, nungging, berbagai posisi kulakukan untuk mempercepat proses kontraksi dan tak lupa mengunyah makanan yang disiapkan. Yang jelas, kurma kuyakini sebagai asupan tenaga terbesar seperti yang pernah Maryam makan saat melahirkan nabi Isa as. Kemudian kuhitung interval waktu kontraksi. 5 menit sekali. Tapi belum juga datang flek yang katanya sebagai penanda bukaan. Kala itu , anak pertamaku ditandai dengan flek terlebih dahulu sebagai penanda sudah memasuki bukaan 5. Sedangkan anakku yang pertama masih sempat ku-empengi sebagai pengiring tidurnya. Begitu juga dengan diriku yang masih menyempatkan diri untuk memasak nasi dan juga memotong kuku. Ya karna hari itu hari Jumat. Waktunya bersuci.
Hingga pukul 9 pagi, aku memtuskan untuk meminta suamiku mengantarku ke puskesmas. Suamiku pun menyiapkan kendaraan. Semi yang masih tertidur, dan aku yang merasakan kontraksi, menunggu datangnya Suamiku. Sambil kutahan, aku memosisikan diriku sambil bersujud. Sambil kuucapkan shalawat nabi, tetiba rasa yang tak diduga datang. Meski tanpa flek, rasa ingin benar-benar mengejan secara alami ingin kulakukan. Dan aku tahu betul bahwa jika bukaan belum komplit maka mengejan tidak baik untuk dilakukan. Karena rasa yang tak tertahankan, sambil merangkak aku memanggil tetangga samping rumahku. Sejak itulah orang-orang disekitar rumah mulai panik mendatangi rumah dan menghampiriku. Tidak lama setelah itu suamiku datang. Aku semakin tak kuat. Batin dan pikiran merujuk akan melahirkan saat itu juga. Dengan tatapan tenang dan membuang rasa khawatirnya, suamiku meminta bantuan dua ibu-ibu untuk membantu membopongku ke kamar. Dan disitulah aku benar-benar merasa bahwa anakku sudah ingin keluar dan menemui bapak ibunya.
Beralaskan seadanya, matras alas kasur serta kardus, aku berbaring dan memosisikan diri untuk melahirkan. Suamiku menyiapkan diri sebagai paraji yang siap menampani bayinya. Dengan mengejan sekali, dua kali dan….. alhamdulillah, kudengar tangisannya. Isakan yang kencang dan juga haru. Lega rasanya. Bagiku, bayiku, dan juga suamiku. Sedangkan tetangga lainnya sibuk mencari dan menjemput bidan desa. Bayiku, mungkin hampir stengah jam diluar dan kedinginan. Lagi-lagi sambil diiringi doa dan shalawat agar bayiku tetap kuat. Sedangkan suamiku, benar-benar mengabaikan rasa getirnya.
Bidan pun datang. Dengan perlengkapan daruratnya, dengan cepat tali pusar dan plasenta diputus. Bayiku dibersihkan dan dihangatkan begitu juga dilanjutan dengan Inisiasi Menyusui Dini. Darah mengalir dimana-mana. Sedangkan jahitan tak perlu dilakukan karena alhamdulillah bayi dengan 3.5 kg aman keluar dengan lancar. Sedangkan bidan, antara terheran-heran dan juga sedikit mengomeliku karena nekat dan semuanya tau bahwa nyawa adalah taruhannya. Aku hanya bisa tersenyum. Mau bagaimana lagi, bagiku inilah pertolongan Tuhanku. Perjuangan dan janjiku, serta sugesti positif yang mulai kubangun bersama bayiku sejak dalam rahim adalah hal yang kuyakini benar adanya. Proses melahirkan yang kedua ini, menjadi ketakjuban tersendiri bagi orang-orang disekitarku. Banyak pelajaran yang kudapatkan. Meski sedikit ceroboh dan mungkin penuh drama, tapi terselubung makna luar biasa. Terutama untukku, suamiku, dan juga anak-anakku. Agar suatu saat mereka paham bahwa Alloh mendengar doa hambanya dan selalu punya renana yang terbaik untuk hambanya yang memohon.
Setiap bayi punya caranya masing-masing untuk bertemu dengan orang tuanya. Maka setiap Ibu punya caranya masing-masing pula untuk mempersiapkan diri menyambut kedatangan anak-anaknya. Pilihlah dan lakukan yang terbaik. Karena semangat seorang Ibu tidak akan pernah habis masa nya.
Lembang, 4 agustus 2018
23.52 wib
0 Komentar
nuranistic!
Aiiiih merinding Jip. Aku suka bangetttt!! “Agar suatu saat mereka paham bahwa Alloh mendengar doa hambanya dan selalu punya renana yang terbaik untuk hambanya yang memohon.” so deepppp
azifah an'amillah
Hihiii;)
nuranistic!
Sopo jenenge cah lanangmu
azifah an'amillah
Durung launching kiiii