Cerita Ibu Anak

Surat Pertama untukmu yang berSemi

Bersama langit purnama hari ini, ibumu akan menyampaikan sebuah surat kepadamu. Surat yang bisa jadi tidak ada artinya bagi yang membacanya tapi bermakna bagi yang merasakannya. Iya, aku dan kamu: anakku Semi.

Sejak dirimu hadir, hari-hari tak terasa berlalu begitu cepat. Dari haru bahagiaku mendengar tangisanmu, senyumku melihat ulahmu, tawaku melihat ocehanmu, hingga tangisku melihat sedihmu. Memasuki usia 3 bulanmu, kamu sudah menyadari bahwa dirimu tidak lagi menjadi yang ketiga. Kamu tahu bahwa akan ada seseorang lagi yang akan menyusulmu. Menjadi si kecil yang selanjutnya. Ketika ASI yang biasa kamu minum mulai tidak lagi banyak, atau bahkan rasanya yang tidak lagi selezat biasanya. Tapi kamu, tetap mendekatiku. Tetap mau dengan ASI mu yang tak seberapa. Dan ibu tahu, dari kecil kamu sudah belajar bagaimana rasa syukur itu. Dan saat itu juga, Ibumu benar-benar mengagumimu.

Bagaimana dengan kesedihan?
Ibu lebih paham bagaimana rasanya. Ketika keegoisanku sebagai seorang Ibu yang merintih sakit, lelah, dan pilu kehamilan sembari menyusui, kamu pun mulai mengeluarkan air mata begitu deras. Melihat bagaimana kamu menangis, Ibu semakin yakin bahwa tangisanmu bukanlah tangisan kesal. Kamu tahu bahwa kamu tidak bisa memaksa Ibumu untuk memenuhi kebutuhanmu karena kondisi Ibumu. Dan kamu ungkapkan perasan itu dengan caramu yaitu menangis. Lagi-lagi Ibumu melihatmu sebagai sosok yang amat mengagumkan.

Sampai usia 6 bulanmu, kamu mulai mengenal makanan selain ASI. Bahagiaku melihat bagaimana dirimu begitu lahap menyantap makanan pertamamu. Bahkan dengan makanan-makanan selanjutnya. Meski Ibu tahu, sebagian besar karna faktor kandungan temulawak yang ada pada minumanmu. Iya, saat itu tangisanmu semakin terasa karna ASI mu benar-benar berkurang dan Ibu mulai mencari alternatif minuman pengganti ASI. Sayangnya, tubuhmu tak bisa menerima segala macam susu ASI dan susu kedelai pun jauh rasanya dari lezatnya ASI. Maka hampir sebulan Ibu mencari susu yang bisa diterima oleh tubuhmu. Selama itu pula Ibu berikan dirimu air madu untuk bayi. Benar, sedih rasanya melihat bagaimana dirimu menatap ASI mu, sedangkan kamu tidak lagi bisa menikmatinya seperti saat kamu lahir di dunia. Begitu juga dengan kamu yang mungkin hanya bisa menikmati MPASI apa adanya, tidak seperti teman-temanmu yang bisa dibuatkan makanan bergizi penuh sesuai anjuran para ahli. Sedangkan Ibumu, karena tidak lagi sanggup melakukan banyak hal berat meski itu sekadar membuatkan nasi tim. Bahkan di usia 7-8 bulanmu, amu sudah mampu memakan nasi yang dihaluskan dengan tangan Ibumu. Ya lagi-lagi Ibu tahu betul bahwa kamu sedang berusaha untuk tidak membuat Ibumu kelelahan. Kamu berhasil membuat ibumu kagum.

Saat kamu asik dengan mainan pertamamu, meniup seruling kecil, saat itu juga Ibumu melihat bagaimana kamu cepat sekali menangkap apa yang kamu lihat dan diajarkan. Perlahan tapi pasti, Ibu pun semakin yakin bahwa kelak kamu akan menjadi kakak yang teladan, kakak yang patut menjadi panutan serta contoh yang baik untuk adik-adiknya.

ASI mu mulai hilang dan benar-benar tidak berproduksi. Tapi kamu tetap saja ingin berada didekatku meski kamu tahu kamu tidk akan kenyang dengan cara seperti itu. Sekadar mengempeng hingga lelah dan akhirnya tertidur. Ibu tahu, inilah sebagian duniamu yang membuatmu merasa aman dan nyaman. Meski Ibumu juga tahu bahwa membiarkanmu mengempeng sama saja dengan membiarkan perutku sejenak terasa sakit. Meski begitu juga, Ibu akan membiarkan calon adikmu merasakan kehadiran kakaknya yang nantinya akan menemaninya dengan penuh kasih sayang.

Semakin kamu tumbuh dan mengenal salam sapa orang-orang disekitarmu, Ibu memanfaatkan hal itu untuk sesekali membuat waktu menyendiri. Bagi Ibumu, saat itulah terkadang Ibu biarkan kamu bermain dengan tetangga sebelah kita. Ibu lakukan itu untuk sejenak rehat tak mendengar tangismu. Dan ya, itu juga bentuk keegoisan Ibumu. Membuatmu bermain bersama yang lain dan kamu menyukainya. Mungkin bisa jadi kamu lebih suka bersama tetangga kita dibanding bersama Ibu. Saat itu Ibu abaikan perasaan itu. Toh kamu masih kecil dan tidak tahu apa-apa. Tapi halnya, kini justru mulai terlihat gelagatmu atau bahkan Ibumu sendiri yang berprasangka tidak-tidak.

Menginjak di usiamu yang sebentar lagi setahun dan calon adikmu yang kini akan hadir diantara kita. Ibu menatapmu dengan cara yang berbeda. Ibu mulai belajar tentang kehadiranmu yang masih sendiri. Dan disaat-saat dekat ini, entah kenapa rasa sayang Ibu semakin melimpah. Tawamu, tangisanmu, ulahmu, ocehanmu, tingkahmu, Ibu anggap itu semua hari-hari terindah bersamamu sebelum adikmu lahir. Maka, sebagai Ibu yang banyak egoisnya, kali ini ada sebuah keegoisan terakhir yang Ibu harap kamu menerimanya. Nikmati hari-hari kebersamaan kita, seperti layaknya menyaksikan indahnya malam purnama. Terima Ibu apa adanya, karena Ibu bukanlah Ibu yang sempurna kasih sayangnya. Tetaplah menjadi anak yang mampu mengajarkan Ibu tentang sabar dan syukur. Dan terakhir, terimakasih karena telah tumbuh menjadi anak baik dan terlahir sebagai anak Ibu.

Dengan julukanmu, Semi, semoga dirimu dapat selalu memberikan kebahagiaan bagi orang-orang disekitarmu. Sebagaimana saat daun-daun dan pohon berSemi dengan indahnya.

Tertanda,
Ibumu yang tak sempurna,
Bune

Lembang 27 Juli 2018

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!