Cerita Ibu Anak

Keputusan bukan Keputus(asa)an

Dua tahun Aku memulai belajar apa yang disebut sabar. Ya, selama ini kukira saat mengerjakan skripsi, sudah termasuk bagian pehaman sabar yang cukup tinggi. Ternyata tidak bagiku. Masih terlampau jauh sekali ketika Aku yang kini bersama kedua anakku menjalani rumah tangga. Iya, mengasuh anak luar biasa butuh kesabarannya.

Seperti menyusui. Siapa bilang Menyusui anak itu mudah? Dua tahun itu lama. Menyusui tidak selalu mengenyangkan anak. Menyusui pula tidak selalu menjadikan anak tertidur. Tak jarang jika rasanya selalu ingin menyerah. Lelah, pegal, kesal, keluh kesah, itu sudah pasti terasa. Sedangkan menyusui membutuhkan ketenangan diri: akal mapun batin.
Ragam cerita tentang suka duka menyusui. Dimulai dari anak yang tidak bisa menyusui dengan baik sehingga menyebabkan ibu kesakitan atau bahkan luka hingga berdarah; ibu yang tidak memproduksi ASI cukup sehingga harus meminum susu tambahan (formula) atau menggunakan jasa ibu sesusuan; hingga ibu yang menyusui dua anak atau dikenal dengan istilah Tandem Nursing. Sedangkan aku termasuk ibu dengan aktivitas tandem nursingnya. Sama halnya dengan bayi kembar, aku menyusui kedua anakku namun berbeda usia. Kala itu, sejak aku dinyatakan hamil kedua di usia 3 bulan anak pertamaku, aku memutuskan untuk tetap menyusui. Awalnya hanya akan menyusui ekslusif hingga usia kakak 6 bulan, hingga dokter menyarankan untuk tetap menyusui selama kakak masih mau dan aku masih kuat. Disitulah aku mengenal istilah Nursing While Pregnant. Dan aku memutuskan untuk melakukannya. Meski berat dan kebanyakan lainnya menyarankan untuk menyapih dari sekarang, hal tersebut tidak membuatku mengubah keputusan. Alloh telah memberiku rahim yang kuat dan juga anak yang penyabar. Bahkan sampai sekarang, adanya anak kedua, kakak tetap menyusu. Iya, kakak dan adik menyusu bersama.

Hal paling menarik adalah ketika adik menyusu, kakak tidak melulu cemburu ingin menyusu karena melihat adiknya. Kakak tau karena dia akan mendapat gilirannya untuk menyusu pula. Ada pelajaran berbagi didalamnya. Sering beberapa kali saat adik sedang menyusu, kakak menghampiri adik kemudian mengelus-elus kepalanya seakan berkata, “Adik minum yang kenyang ya, abis itu gantian Kakak yang minum.” Sering juga ketika keduanya menangis bersamaan dan ingin susu, maka posisi kakak dibawah dan adik diatas badan kakak. Sambil menyusu, sambil diajak berkomunikasi, kemudian kakak selalu saja sambil mengelu-elus kepala adik.
Sedangkan bagiku, saat hamil, kakak masih terus mengempeng, mungkin ini menyebabkan meski adik hadir puting Ibu menjadi tidak sesakit menyusui bayi yang baru lahir. Tentu sebagian kecil yang terjadi seperti yang diceritakan, tidak mudah dilakukan. Ada saat ketika kakak menangis, adik ikut menangis, kemudia ibunya ikutan. Iya menangis bersama, sudah pas rasanya bikin klub paduan suara.

Keputusan-keputusan yang kubuat mungkin semacam konsekuensi yang harus kulakukan. Belajar menjadi ibu yang berusaha penuh untuk mengASIhi, bukan sebuah kewajiban tapi sebuah apresiasi bagi anak-anaknya yang telah tangguh dan berjuang di semesta rahim dan pergi untuk menemui ibunya. Kelak anak-anak akan berkelana mencari Tuhannya. Saat sudah menemukannya, mereka akan memohon, “Tuhanku, sayangilah kedua orang tuaku, Ibuku dan juga Ayahku. Sayangi mereka dengan sebesar-besarnya kasih sayangMu kepada hamba-hambaMu. Sayangi mereka sebagaimana mereka menyayangiku di waktu aku kecil.”

Aamiin…

Lembang, 21 September 2018
16.08 wib

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!