Desa atau Kota; Pilihan Tempat untuk Menjadi Bijak
Beberepa hari yang lalu, aku ngobrol serius dengan kawan dekatku. Sesama pejuang wirausaha lokal yang ga ingin muluk-muluk pencapaiannya, yang penting ada pemasukan cukup tiap bulan; bisa nambahin pemasukan rumah tangga buruh upah; syukur bisa ikut tebar kebahagiaan dengan bonus-bonus tambahan bagi pegawai.
Aku yang tinggal di desa, memang pengeluaran untuk rumah tanggaku terutama pangan, jadi lebih hemat dibanding tinggal di kota, meskipun begitu, desa peralihan, tidak sunguh-sungguh desa loh. Ada semacam gaya hidup yang menuntut untuk mengikuti layaknya kehidupan perkotaan meskipun itu seperti pilihan, namun pada akhirnya itu menjadi opsi yang wajib kita ambil. Apalagi yang sekarang serba daring, terbatas nya pengetahuan tentang cara beli kuota yang lebih murah, pada akhirnya anggaran dana pangan yang jadi ikut membengkak layaknya hidup di kota. Sedangkan derasnya informasi di kota, menjadi taktik teknologi lebih mudah disiasati.
Kamu ingin bekerja dan besar dimana? Desa atau kota?
Desa adalah pilihan yang telat untuk kamu sebagai pengusaha untuk berbagi kebahagiaan warga. Meskipun guncangan sosialnya lebih kencang, bagi warga desa yang mungkin sekadar lulusan SMA, akan jadi sebuah pelajaran yang besar untuk pemimpin wirausaha, melatih skill, serta mengoptimalkan kemampuan yang nantinya bisa loyal pada wirausaha yang kita bangun.
Kalau kita ga ada bayangan buat jadi founder atau pemilih sebuah wirausaha, menurutku mending kerja di kota. Apalagi kita punya gelar yang cukup tinggi, sarjana bahkan master. Akan sangat bijak jika kita memposisikan dengan usaha keras kita dan menempatkan diri kita di tempat yang sesuai dengan kapabilitas kita.
Sebagai warga desa yang bekerja menjadi pegawai atau buruh di sebuah usaha milik orang kota, jadilah lebih cerdas dan open minded!
Kejadian yang paling sering terjadi, karena pegawai hanyalah lulusan SMA, kemudian pekerjaan menjadi jurang memuaskan bagi pemilik usaha, mungkin karena skill, kecekatan dan pemahaman, sehingga akhirnya mengatur upah adalah hal yang mungkin kasarnya bisa “ditekan”. Nah, sayangnya, karena mental nya sudah terbiasa di desa dan ‘menerima’ setiap apa yang diberikan, ‘memsyukuri’ atas setiap keringat yang telah dikeluarkan, akhirnya menjadi bodoh. Mengapa bodoh?
Pertama, merasa puas bahkan bangga karena bisa mendapatkan upah yang seharusnya lulusan SMA tidak akan bisa mendapatkan gaji segitu. Belum lagi bangga karena kerja dengan titel perusahaan. Padahal gatau aja harusnya gajinya bisa lebih tinggi, tapi karena dimainkan sama bos nya jadi segitu aja udh bangga bahkan meremehkan yang lain😂
Kedua, menerima karena tidak berani. Keluar dari zona nyaman. Malas cari pekerjaan baru, takut dengan dunia kerja yang baru, akhirnya memilih untuk tetap bekerja dengan wirausaha tersebut padahal sudah tau kalau ya bisa di bilang “cukup tidak adil” terkait per-upah-an yang selayaknya dia terima.
Sedangkan karakter di kota, banyak mental pegawai yang terlatih dengan dunia keras, harga diri tinggi, kemudian berani bertindak ketika tau sebuah ketidakadilan menimpa kita. Lemburan tidak diupah, slip gaji tidak sesuai, terpaksa membuat laporan keuangan yang tidak sesuai, yang akhirnya, sikap untuk terus terang secara implisit maupun eksplisit sudah biasa terjadi. Bahkan akhirnya, untuk bersahabat dengan dirinya, lebih baik memilih keluar dari perusahaan.
Banyak kejadian di dunia kerja yang pada akhirnya kita harus bijak dalam mengambil keputusan. Ga cuman sebagai pegawai, tapi juga sebagai pemimpin. Mau bersahabat dengan peraturan kah, memegang teguh prinsip kah, menerima apa yang sudah diberikan kah, atau bicara dengan gagah atas sebuah ketidakadilan.
Itu pilihan, kebijakan yang diambil pun harus sesuai dengan karakter kita, lingkungan kerja, juga orang-orang disekitar kita.
Nah, kalau kamu, tipe yang mana yang akan kamu ambil jika ternyata mengalami hal yang tidak kamu inginkan?
Desa atau Kota?
Mungkin, obrolan singkat ini cukup menjadi miniatur dalam menjadi bijak untuk diri kita atau anak-anak kita dalam menjalani hidup.