Kacamata Rekayasa Sosial Masyarakat Pedesaan dalam Isu Nilai, Idealisme, dan Integritas
Sejak mengenal pelajaran sosiologi saat SMA, aku pribadi hanya mempelajarinya sebagai bentuk kewajiban sekolah saja, karena jujur tidak terbayang apa relevansinya dengan kehidupan atau mungkin otak SMA ku belum sampai pada kritis sosial. Kemudian lanjut sekolah sarjana sains murni yang saat itu aku memilih tugas akhir tidak murni sains tapi keterkaitannya dengan budaya masyarakat. Kemudian lulus lalu membangun bisnis dan kemudian memutuskan melanjutkan sekolah pascasarjana. Saat itu yang terpikir adalah belajar tentang manajemen bisnis hayati. Ternyata ada mata kuliah yang diwajibkan yaitu rekayasa sosial. Mulanya pelajaran tersebut aku telaah lalu kuterapkan untuk kepentingan bisnisku saja yang sampai akhirnya kupakai untuk tugas akhir pascasarjana. Ternyata tidak sebatas itu. Menyelami tentang rekayasa sosial tidak akan tercapai bila kita tidak mampu melihat masalah sosial yang ada. Sedangkan untukku pribadi, masalah sosial ini tidak mudah kulihat jika kita tidak melatih intuisi kita. Aku ingat betul bagaimana sulitnya merumuskan latar belakang masalah. Salahnya dimana? Masalahnya apa? Mengapa aku tidak bisa menemukannya? Padahal aku tahu bahwa ada yang tidak benar? Dari situlah aku melatih diriku untuk melihat dalam sudut pandang kacamata sosial yang ternyata begitu banyak permasalah yang akhirnya menjadi masalah sosial.
Masalah sosial antar desa bisa jadi berbeda karena faktor internal maupun eksternal. Tapi bisa jadi pula serupa meski berbeda. Sebagai contoh yang paling umum di masyarakat pedesaan adalah masalah kemiskinan. Adanya kemiskinan ini seharusnya perlu ditelaah, mengapa terjadi kemiskinan di masyarakat Desa A? Apa saja penyebabnya? Mengapa sudah bertahun-tahun pendapatan masyarakat tidak bertambah? mengapa taraf hidupnya tidak naik? mengapa masih banyak terjerat pinjol? dsb. Inilah nanti yang akan diputuskan, solusi apa untuk menumpaskan kemiskinan di masy pedesaan tersebut dan memang sifatnya penuh pantauan serta berkelanjutan. Beda halnya bila ingin ditumpaskan dengan solusi instan seperti bantuan sosial. Apakah itu solusi yang baik? Apa benar itu adalah cara yang tepat untuk mencapai idelisme aparat desa? Apa sesuai dengan nilai yang dipegang? Lalu apa hubungan dengan nilai dan idealisme?
Daftar Isi
Nilai
Sejak kecil, nilai dalam kehidupan telah diajarkan oleh orang tua kita. Seperti jujur, membantu, berbagi, dan aku yakin tidak ada orang tua yang mengajarkan nilai tidak baik. Sebetulnya kita kita sebagai manusia beragama, tidak perlu pusing mencari nilai yang seperti apa yang harus kita pegang. Tidak hanya islam, agama lain pun mengajarkan bahwa kita harus jujur. Sehingga jika kita keluar dari nilai tersebut, kita akan kembali lagi pada ajaran agama yang kita pegang. Aku tahu berbohong itu salah, maka aku harus jujur. Ya contoh mudahnya seperti itu.
Sayangnya, nilai ini ternyata bisa berubah. Faktor penyebab berubahnya pun bisa berbeda-beda tergantung kondisi dan situasi. Adanya konstruksi masyarakat dapat menggeser nilai. Katanya manusia itu sama dimata Tuhan, kenapa kalau ada orang yang punya tanah dimana-mana tiba-tiba kita menjadi lebih hormat? Pertanyaanya, apakah perubahan tersebut memang untuk kebaikan? apakah perubahan tersebut masih bermoral dan dalam koridor etis? Belum lagi kita yang berada dalam masyarakat, seringkali kita tanpa sadar terbawa arus menjadi bagian dengan konstruksi sosial tersebut. Semulanya kita tau nepotisme dalam aparatur negara itu salah, kemudian kita melonggarkan,”ya gapapalah kalau pinter.” Sebetulnya, perkara kecurangan dengan apapun bentuknya ya tidak benar. Kenapa kita jadi mudah disetir dengan pemikiran lentur? Kalau aku pribadi jawabannya mudah, kita tinggal lihat kembali sosok panutan dalam agama kita. Misalkan dalam islam yaitu Rasul. Biar ga pusing, pilih saja yang jelas sholat 5 waktunya. Itu sudah tolak ukur termudah diantara banyak seorang muslim tapi tidak sholat. Nilai itu tidak hanya untuk diri kita pribadi, tapi wajib kita ajarkan pada anak-anak kita. Tapi, tidak cukup sampai pada nilai, karena pada kenyataannya nilai masih bersifat konkret dan pragmatis. Kalau dikatakan nilai yang dipegang adalah saling membantu, maka bisa jadi ketika ada pasangan calon yang membantu perbaikan jalan atau bagi-bagi sembako pada warga desa, tentu kemudian secara langsung akan dibantu kembali untuk memilih paslon tersebut. Pertanyaannya, apakah cukup sampai nilai saja? Bukankah sudah ada aturan yang jelas bahwa itu tidak boleh? Lantas mengapa dibiarkan, bukankah ada aparat desa yang memiliki power dan pengaruh untuk masyarakatnya?
Idealisme
Intregitas
Ketika nilai sudah dipegang, kemudian nilai ini pembentuk dasarnya idealisme, selanjutnya bentuk kualitasnya disebut sebagai integritas. Bisa dibilang intregitas ini merupakan wujud kesetiaan seseorang terhadap nilai-nilai yang diyakini, serta konsistensi antara apa yang mereka katakan dan lakukan. Integritas dipertanyakan ketika ada ketidaksesuaian antara prinsip moral seseorang dengan tindakan yang diambil, atau ketika seseorang harus memilih antara mempertahankan integritas atau mengorbankannya demi keuntungan atau kenyamanan pribadi. Pada konteks masayarakat pedesaan, aparat desa sangat berperan penting dalam permasalahan sosial yang ada di desanya. Misalnya begini, paslon datang untuk berkampanye di suatu desa, kemudian memberikan bantuan dana untuk desa entah dalam bentuk barang untuk perbaikan jalan atau sembako. Aparat desa mungkin memilih untuk menerima dengan dalih idealisme untuk kebaikan masyarakat, tapi keputusannya itu berdampak pada masalah sosial. Pola setiap kampanye paslon yang memberi bantuan, menjadikan masyarakat menunggu momen kampanye agar mendapat bantuan dana. Masyarakat layaknya disiapkan menjadi tangan yang dibawah di setiap kampanye 5 tahun. Tidak sampai disitu, kemudian program BLT bulanan yang artinya masyarakat lagi-lagi menjadi tangan yang dibawah tiap bulannya. Apakah hanya sampai disitu? tentu tidak, malah lanjutnya akan semakin luas, dari yang berpengaruh pada kinerja pekerjaanya yang mungkin membuat bosnya kesal, atau akhirnya menjadi pencari jalan pintas yaitu meminjam di pinjol atau rentenir. Sebaliknya, bila aparat desa dengan tegas menolak penyediaan fasilitas kampanye paslon karena integritasnya, masayrakat mungkin diawal bisa jadi mengeluh, tapi bayangkan ketika aparat desa dengan mandiri mendapatkan dana finansial desa dari usaha kerasnya bersama masyarakat, tentu hal yang pasti bahwa masyarakat akan belajar pula untuk mandiri dan tidak serta merta menjadi sosok yang bergantung. Bukankah salah satu tugas aparat desa adalah memecahkan masalah sosial? Apa benar cara tersebut benar-benar memecahkan masalah sosial?
Memiliki integritas itu tidak mudah apalagi dengan memegang idealismenya. Contohnya aku dengan bisnis basis ramah lingkungan yang kubangun. Kalau aku tidak memegang teguh prinsip nilai dan idealismeku, mungkin bisnisku sekarang sedang ikut-ikutan saingan bagus-bagusan packaging tak peduli meski itu berbahan plastik yang jelas tidak ramah lingkungan. Bisnis yang kubangun ini ternyata mampu menjadi media belajar sekaligus benteng, ketika nilai jujur sudah dipegang maka kita terlatih untuk selalu jujur pada konsumen seperti halnya jujur bahwa ada yg defect, jujur bahwa akan dikirim telat, atau mana bibit yang bagus dan tidak. Prinsip nilai dan idealismenya yang dipegang tidak selalu harus rumit. Kembali lagi, pilihan nilai kita, acuan baik buruknya darimana, dan buktikan kesuaiannya pada integritas.
Tulisan ini aku dedikasikan untuk penghujung akhir usiaku di 29 tahun, sebagai bahan refleksi dan pengingat. Mana tau, aku kehilangan jati diri idealisme ku saat usia menua. Terimakasih untuk latihan berpikir kritisnya selama perkuliahan, dari aku yang tidak peduli dengan masyarakat, kini bisa kumulai kepeduliannya meski dari sebuah rintisan usaha dan sebuah tulisan.
Lembang, 11 November 2024