Hubungan antara pramugara tampan dan kisah anak durhaka
“Ayo anak-anak maasukkan bajunya ke dalam koper.”
Hari ini hari ke 23 Ramadhan 1434 H. Hari ganjil dalam sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Malam ini yang seharusnya bisa kuhabiskan di masjid, kini harus ditunda terlebih dahulu. Hari ini ibu, tiga orang adikku, dan aku, siap berangkat menuju Jayapura. Sekalipun aku tak pernah membayangkan akan menginjak tanah papua. Pulau dimana pesawat sebagai transportasi utama untuk pergi antar kota dan tentunya hamparan hijau yang masih setia menghiasi pulau ini. Tak hanya itu, lautan biru yang mengelilingi pulau papua dan logat penduduk asli berkulit kecap manis yang selalu membuatku tertegun. Jujur saja, mereka berbicara amat cepat hingga aku tak dapat mendengar tiap kata yang mereka ucapkan.
Perjalanan ini kami mulai dari Kebumen, kota asal tempat tinggal, pada pukul 13.00 WIB dengan mengendarai bus damri menuju bandara Adi Sutjipto. Empat jam berlalu. Bus berhenti dan kami turun tepat di depan bandara. Rencana berlama di papua, tak salah jika barang yang kami bawa sangat banyak. Koper-koper besar dan sangat gendut melewati pemeriksaan pintu masuk utama dengan lancar. Anehnya ketika kami melewati pemeriksaan barang menuju ruang tunggu, tas milik ibuku ditahan.
“Maaf bu tolong diperiksa tasnya, mungkin ada benda tajam.”kata bapak yang bertugas sebagai pemeriksa barang bawaan.
“…………. Oh iya, ada pisau lipat.” Jawab ibu dengan seyum kecutnya. Yah bagaimana tidak, pemeriksaan pertama saja lolos, mengapa ini tidak? tenang pak, ibu bukan teroris.
Pisau lipat itu harus ditinggal atau dititipkan di dalam koper. Kalau aku jadi ibu, aku akan meninggalkan pisau lipat itu. Sebelumnya kami pun sudah bolak balik dua kali ke tempat bagasi karena ternyata raket tennis yang dibawa adikku tidak boleh dibawa kedalam pesawat, alias harus dititipkan ke dalam bagasi. Berlanjut ke pisau lipat tadi, akhirnya ibu memilih untuk menitipkannya ke bagasi.
Pesawat boarding pukul 18.30 WIB. Satu setengah jam harus kami lewatkan sambil menunggu adzan maghrib berkumandang.
“Diumumkan kepada seluruh penumpang di ruang tunggu, bahwa saat ini pukul 17.45 WIB telah menunjukkan waktu berbuka puasa. Anda bisa mengambil takjil yang terletak di tengah ruangan ini. Terimakasih.”
Pengumuman tersebut membuat kami segera membatalkan puasa. Aku dan adik-adikku menghampiri para pramugari cantik untuk mengambil takjil gratis sebagai fasilitas bandara. Setelah sholat maghrib, kami langsung menuju gate 1 karena pesawat sudah datang. Pesawat ini akan membawa kami menuju bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Perasaan deg-degan mulai datang. Setelah sekian lama akhirnya aku kembali menumpangi pesawat. Berbeda dengan adikku yang kini duduk di dua MTs. Senyum di wajahnya menandakan bahwa ia sangat senang. Seolah-olah mengatakan, “ini kesempatanku!”. Jika kuamati lebih dalam, senyumnya itu berubah menjadi senyum sinis yang bercampur dengan rasa penasaran yang amat besar. Entahlah, yah aku berharap tak terjadi hal-hal yang aneh.
Kursi economy class memiliki seat dengan tiga di bagian kanan dan tiga di bagian kiri untuk tiap barisnya. Ibu dan adik bungsuku duduk di bagian kanan sedangkan aku duduk di bagian kiri bersama adikku yang lainnya. Perjalanan menuju jakarta akan ditempuh selama 45 menit. Sebelum pesawat boarding, pramugari memberikan permen. Permen ini adalah sala satu cara agar telinga tidak terganggu pada saat pesawat lepas landas. Perintah untuk menggunakan seat belt sudah diumumkan. Pesawat siap lepas landas. Segala jenis jampi-jampi sebagai haturan doa kepada Alloh SWT aku ucapkan. Semoga perjalanan ini lancar dan selamat sampai tujuan. Melewati dengungan pesawat yang sedikit memekakan telinga, akhirnya aku kini berada di atas awan.
Lampu tanda set belt telah dimatikan. Ini berarti penumpang aman jika ingin membuka sabuk pengaman. Pramugari berkeliling memberikan snack dan minuman. Rasa gembira pada perjalanan ini terlukis di wajah ibu dan adik-adikku. Canda tawaku dan adik perempuanku yang duduk di sebelah kananku, cukup membuat sedikit kegaduhan di sekitar tempat duduk kami. Bahkan hingga beberapa kali kami tertawa karena suara kami yang cukup keras. Kalau dipikir aneh juga, kami tertawa karena ulah kami sendiri. Disaat aku dan adikku tertawa geli karena sesuatu, tiba-tiba ada pramugara yang datang memnghampiri tempat duduk kami.
“Ada yang bisa saya bantu?”
Aku mendadak diam dan terkejut. Saat itu aku berpikir bahwa inikah teguran karena kami ribut? Sebegitukah ramainya hingga pramugara itu datang? Dag dig dug, waduh aku gak mau kalau pesawat ini menyaksikan kebiasan kami yang sering membuat malu. Namun di saat banyak kalimat-kalimat yang melayang di atas kepalaku, aku menoleh ke kiriku. Adik lelakiku yang duduk di dekat jendela, membalas tatapan pramugara tadi dengan senyum meringisnya seakan-akan ia tak berdosa. Aku masih ingat betul lukisan ekspresi itu. Wajah sok polosnya dan sunggingan bibirnya yang membuatku kesal karena ia bahkan tak menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Aku gugup. Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Hingga perkataan yang aku lontarkan ke pramugara tersebut menjadi sebuah kesalahan besar dalam hidupku selama berucap. Bagaimana tidak? kata-kata yang terangkai begitu menyeramkan aku lontarkan kepada pramugara tampan. bukan berarti tiba-tiba aku menyebutkan kuntilanak, suster ngesot, atau pocong yang terkesan menyeramkan. Akan tetapi karena aku tak tahu pasti alasan pramugara tersebut menghampiri, akhirnya aku berkata, “ohh gak ada apa-apa kok mas. Ini cuman asal-asal pencet.” Rasanya saat itu juga aku lebih memilih terjun dari pesawat dibandingkan bertemu dengan pramugara itu lagi. Bahkan aku tak tahu apa yang aku katakan, tombol mana yang membuat jadi asal pencet? ah entahlah. Sebegitu hiperbolanya hingga tak lupa aku memberikan senyuman terlebarku seakan menggambarkan,”ini pasti ulah dia.” Pramugara itu pun membalas senyuman dan pergi meninggalkan kami. Jika boleh suudzon, aku yakin betul bahwa dia pasti berkata, “awas ya, jika suatu saat saya menjadi pilot, saya akan turunkan kalian sekarang juga.” Untungnya itu hanya prasangka burukku. Aku pun menoleh ke adik lelakiku. Dia masih terlihat memberikan sunggingan bibirnya tadi. Aku yakin betul bahwa tadi adalah ulahnya. Aku pun bertanya,”emang tadi kamu ngapain si dek?”
“Ini loh mbak, kan aku penasaran ama tombol-tombol itu. Yah jadi aku pencet semua deh. Eh pas aku pencet tombol ini malah tiba-tiba ada pramugara yang datang. Mana cepet banget lagi datangnya.”jawabnya.
“Terus kenapa kamu gak jelasin? Kamu tuh arrrghh pede banget si! Kan jadi aku yang malu. Udah disini aku paling tua, gak ada yang ngomong lagi kalian. Aduh kan jadi aku yang keliatannya bertingkah konyol . Ngapain coba udah gede masih mainan pencet-pencet tombol? Kan malu-maluin.” Balasku. Tapi aku bersyukur walaupun aku asal bicara ternyata alasan asal pencet itu benar-benar-benar. Harapan sebelum keberangkatan agar tidak terjadi hal aneh memang terkabulkan. Namun hal memalukanlah yang menggantikan. Sisa-sisa waktu untuk sampai di bandara SuTa, kami habiskan untuk tertawa. Tertawa mengingat salah tingkahku dihadapan pramugara tampan, senyum mengggelikan adik lelakiku, dan rasa penasarannya yang membuat aku jadi korban. Bahkan sesampai di bandara kami kembali menceritakan kejadian tadi kepada ibu dan adiku. Yah walaupun ibu dan adik ikut menyaksikan kejadian tersebut. Sambil tertawa kami bergegas mencari mushola untuk melaksanakan sholat isya’ dan tarawih. Pesawat menuju jayapura akan diberangkatkan pada pukul 20.10 WIB. Rencananya setelah sholat tarawih kami mau membeli makanan berat untuk sahur namun apa boleh buat. Perintah untuk memasuki gate F6 menuju pesawat sudah diumumkan sejak tadi. Bahkan kami sempat lari-lari kecil because we are the last.
Pesawat pun lepas landas. Tempat duduk kami sama seperti sebelumnya. Kami tertidur pulas, hingga pesawat landing. Ternyata pesawat transit di bandara Sultan Hasanuddin, Makassar. Para penumpang yang menuju Jayapura, memiliki kesempatan untuk keluar pesawat selama 45 menit. Waktu inilah yang aku dan adik-adikku gunakan untuk membeli makan berat. Mumpung baru kali ini aku menginjak tanah makassar. Kami membeli empat bungkus nasi dan ayam. Setelah itu kami kembali ke pasawat. Aku pikir pesawat akan berhenti langsung ke bandara sentani, jayapura. Ternyata pesawat akan berhenti di bandara, biak. Sekarang pukul 12.00 WIB. Berarti kami harus menyesuaikan waktu makassar yaitu dengan menambah 1 jam. Sebelum kami pergi ke alam mimpi, kami melahap santapan yang diberikan oleh pramugari berupa omelet. Sangat lezat dan sangat mengenyangkan. Kami tak menyangka bahwa akan mendapat makanan yang cukup untuk sahur nanti. Lalu nasi bungkus yang kami beli tadi bagaimana nasibnya ya? Entahlah, yang jelas kami tak berpikir untuk memakannya pada saat sahur.
Kami pun tidur hingga ibu membangunkan kami untuk minum air putih. Ternyata benar, rasa kenyang kami mampu mengalahkan kami untuk tidak menyentuh nasi bungkus sedikit pun. Ya sudahlah, bisa dibawa pulang ke rumah untuk menu buka puasa nanti.
Sampailah kami di biak. Bandara kecil, Frans Kaisiepo, itu sudah mulai menunjukkan kepadaku para penduduk berkulit hitam. Subhanalloh, aku terkesima melihat betapa banyaknya orang berkulit hitam disini. Rambutnya yang kusebut dengan kriwel itu sangat khas. Kami pun shalat shubuh disana. Sambil menunggu pesawat menuju jayapura, kami mengisi waktu dengan melantunkan ayat-ayat suci al-quran.
Pramugari telah mengumumkan kepada penumpang ke Jayapura untuk segera ke pesawat. Langit papua menyambut kami dengan bulan dan jupiternya yang amat terang. Kami memasuki pesawat bersiap untuk berangkat menuju Jayapura. Kami pun pulas tertidur. Ketika pesawat sudah landing dan penumpang dipersilakan untuk turun, nyawaku dan adik-adikku masih diambang batas. Untuk membuka mata saja rasanya berat sekali. ibuku terus mengajak kami untuk segera turun. Bukan karena ibu orang yang suka dengan terburu-buru tapi karena siang ini ibu harus mengurus kegiatan buka puasa bersama anak yatim di kantornya. Kami masih belum beranjak. Bahkan aku merasa kesal karena aku benar-benar membiarkannya mengoceh. Oh tidak, saat itu aku benar-benar merasa sebagai anak durhaka. Akhirnya ibuku turun terlebih dahulu. Sampai penumpang lainnya sudah turun, aku dan adik-adikku pun akhirnya turun. Ketika sedang mengambil koper-koper yang ditaruh di bagasi pesawat, aku dan dua adikku mengingat-ingat barang apa saja yang telah dibawa.
“Loh mba Zifa, nasi bungkusnya mana? Gak dibawa ya?” tanya adikku yang tadi duduk disebelahku.
“Eh tadi kan aku turun duluan daripada kalian. Kamu gak ngecek bawah kursi ?” tanyaku kembali dengan sedikit terkejut.
“Tadi kan masih ngantuk-ngantuk gitu. Kukira udah dibawa mbak zifa. Nah lo, gimana dong ngomong ke ibunya?” jawabnya.
“Aduh gimana ya? Jadi merasa bersalah.” Aku pun terdiam. Bukan, tak hanya aku tapi juga adik-adikku. Merasa bersalah karena kami tadi tidak mendengarkan nasihat ibu. Kami terbelit dengan rasa kantuk kami hingga kami mengabaikan omongan ibu.
Koper-koper sudah diambil, kami keluar bandara menunggu jemputan. Pada saat itulah aku dan adik-adikku melakukan aksi sungkeman.
“Ibu maafin ya bu, nasi bungkusnya ketinggalan.” Pinta kami dengan wajah amat bersalah.
“Makanya dengerin kalau ibu ngomong. Kalian ini kalau nyantai keterlaluan. Ya sudah, mau gimana lagi. Ntar biar nasinya jadi rejeki buat pramugarinya.” Kata ibu dengan bunga-bunga nasihatnya.
Jadi apa hubungannya antara pramugara tampan dengan kisah anak durhaka?
Yang jelas kalau kejadian asal ceplosku di depan pramugara tampan tersebut, mungkin saja akan terulang lagi. Yah, begitulah kebiasaan adik-adikku yang selalu membumbui perjalanan. Pasti ada kejadian memalukannya.
Kalau kisah anak durhaka, ya Alloh kami tobat. Naudzubillah. Beneran nggak bakal ngulangin lagi deh. Memang nasihat orang tua itu hampir 100% manjur!
Jemputan telah datang. Perjalanan dari siang hingga pagi dipenuhi oleh warna-warni hikmah yang dapat aku ambil. Ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di tanah papua. Hijaunya pohon, lautnya biru, udaranya pun yang masih terbilang segar walaupun itu di kota. Tempat sampah yang membuatku heran karena tak pernah ada di kota mana pun. Kebiasaan mengunyah pinang para penduduknya membuat bandara menyediakan tempat untuk ampas pinang. Papua, aku siap mengelilingimu!
jupiter dan bulan yang terang di langit biak menyambut kedatangan kami.
layar dalam pesawat (menuju jayapura).
tempat sampah khusus pinang. Kebiasaan penduduknya mengunyah pinang dipercaya dapat memperkuat gigi.
Terakhir saya ucapkan terimakasih kepada PT. Cipta Buru Sukses yang telah mengadakan kompetisi blog melalui www.burufly.com Semoga kami semakin bersemangat untuk menulis!