tragedi handuk
#story of assalaam 5
sekitar 2000 santri ada disana. tak heran jika banyak sekali barang-barang yang sekiranya bisa saja tertukar atau pun jatuh dan kamu akan bilang bahwa ada yang mengambil barangmu. sulit memang menemukan sebuah kebenaran mengenai ragam tragedi hilangnya barang.
hal tersebut membuat kami, aku dan teman-teman lain disana, harus memberi tanda khusus atau kebanyakan menuliskan namanya di barangnya masing-masing. begitu juga denganku. kuberikan tanda jahitan berbentuk Zigzag merah hijau sebagai bukti kepemilikan. kugunakan tanda itu karena kuyakin tak akan ada yang dapat menyangkalnya atau memanipulasinya.
hingga pada suatu sore, saat aku akan melaksanakan salah satu kewajibanku yaitu mandi, aku harus kehilangan handukku yang kujemur di tempat alat-alat mandi dan handuk-handuk berada. antara KMD tekel merah dan biru. 30 menit aku mencarinya dan akhirnya aku memilih untuk mengambil handukku lainnya di lemari. masih bersih. cukup menyesakkan memang. aku harus kehilangan handukku yang kupikir umurnya belum lama untuk bisa dimanfaatkan olehku. “ah sudahlah. mungkin terselip. besok akan kucari lagi.” batinku.
tragedi handuk ini memberikan kesan yang mengerikan. mengapa? karena pada akhirnya aku menemukan handukku yang sempat hilang. namun aku tak pernah membayangkan bahwa hal ini akan terjadi.
saat aku menemukan handukku di tempat yang bukan biasanya tempatku menjemmur handuk dan dalam keadaan basah, aku pun curiga. apa mungkin ada yang pernah memakainya? tanpa pikir panjang, handuk langsung kuambil dan kucuci serta kujemur di reservoir. sore hari, saat aku melipat baju di kamarku, kpi 25 yang dihuni 20 orang, tiba-tiba ada seseorang datang ke kamarku. kedatangannya tak disertai dengan gaya bertamu yang sopan santun.
“mana yang namanya azifah?” teriaknya. sangat kencang. sampai sekarang aku masih ingat bagaimana ia memanggil namaku begitu juga dengan raut wajahnya yang mengerikan.
baiklah. untuk pertama kalinya aku merasakan ketakutan karena seorang teman. apa benar teman(?)
“iya aku. ada apa ya?” aku tak beranjak dari tempat dudukku. masih di depan lemari sambil memegang pakaianku yang baru saja dilipat.
“apa maksud kamu? kamu mau ambil handukku? ini kan punyaku? emangnya aku gatau apa kalau kamu yang ngambil? mau kamu apa? kenapa kamu menuliskan namamu di handuk ini? ini tuh handuk aku yang udah lama hilang! $$$$$$$~~~~~%%%%¥¥¥¥£££€€€€€@@@~~~~~” katanya. panjang. nada tinggi. tanpa henti.
jujur, aku tak mendengarkannya dengan jelas. amarahnya membuatku tuli mendadak. kata-katanya terlalu banyak hingga aku tak mampu mencernanya satu persatu. ingin sekali aku berteriak saat itu “berisik!” ah sayangnya aku tak akan melakukan hal itu.
“loh itu kan udah ada tandanya. tanda jahitan. makanya pas aku nemu handuk itu, aku perjelas deh kasih nama. ternyata bener kejadiannya malah ketuker. kayak sekarang ini. mungkin punya kamu memang hilang. soalnya tanda zigzag yang ada di handuk itu memang tanda di semua barang milikku.” terangku. cukup santai walau sebenarnya saat itu aku benar-benar menahan emosiku.
“oh gtu! aku ga peduli mau itu tanda punyamu atau bukan. yang jelas itu handuk aku. yang selama ini hilang. aku yakin banget. kamu gak usah mengada-ada.” ungkapnya. dan dia masih tetap dan tegap berdiri di depan pintu meneriakku. teman-teman sekamarku hanya bisa diam. bahkan tetangga kamar pun keluar untuk melihat ini. tragedi handuk.
dia pergi. meninggalkan kamarku dengan wajah yang masih geram. sedangkan aku? terdiam gagu. masih ragu seolah-olah tragedi tadi hanyalah khayalan. aku tak pernah dimarahi sekeras itu. ya akhirnya aku tak dapat menahan. tangisanku meledak. jika diingat, saat itu aku benar-benar mengeluarkan isakan tangis. ahh malangnya nasibku.
nampaknya ia puas memarahiku. semenjak kejadian itu, teman sekamarnya (kpi 18) satu persatu mencari namaku. “yang namanya azifah yang mana si?”
ah sial. batinku. kenapa harus mendadak terkenal begini? oh tragedi handuk. sudahlah kubiarkan handuk itu bebas. terserah kalau kamu memaksa, gunakan saja.
“kamu tak perlu berlebihan untuk mendapatkan sesuatu, bukan?” pikirku.