Sastra dan seisinya

Jembatan Harapan

sudah beberapa hari ini, menjelang aktivitas akademik, aku mengalami ragam cerita menarik. kadang suka, senang, lucu, kekhawatiran, sedih, dan masih banyak lagi. hal-hal itu memang biasa dialami. dan aku tidak akan mengeluh karena itu. namun ada satu hal yang membuatku sedikit terdiam. raut wajah seketika berubah menggambarkan kebingungan. mungkin kamu akan bertanya-tanya tentang apa yang akan terjadi. apapun itu, ini ada hubungannya dengan sifat alamiah seorang wanita. saat dirimu harus tersingkap dalam sebuah jembatan yang tak dapat dimengerti bagaimana ujungnya. jembatan harapan.
ini bukan tentang harapan bagaimana kisah hidupmu di masa depan. hei, kubilang harapan itu berbeda dengan mimpi. mau bagaimanapun juga, saat kamu harus melepas yang namanya sebuah ‘harapan’, kamu akan merasakan sesuatu. perasaan penuh dan sesak di dalam dadamu.
pada perjalanan ini kudapatkan sebuah refleksi diri: puasa. ternyata beginilah kerja puasa. aku, kamu, dan kita bukanlah lagi anak kecil yang harus menunggu tiap pergerakan jarum jam, menunggu waktunya berbuka puasa. iya, beginilah rasanya. saat menahan hawa nafsu, berpikir tenang dan jernih. membiarkan pikiran postif masuk melalui pori-pori tiap bagian tubuh.
tidak jauh beda ternyata. menunggu ujung jembatan harapan dengan menunggu detak jarum jam yang tak bergeming sedikit pun walau terbaring lemah entah itu lapar atau apapun yang ingin kamu sebut.
mengapa harus mengeluh? mengapa harus menyalahkan setiap kejadian? kupikir ini bukanlah sebuah penghinaan. sekalipun sesak, mungkin sesak inilah ragam pilihan yang harus dipilih. mau maju ataupun mundur. atau mau diam saja, menunggu kapan ujung jembatan harapan ini berakhir?
sudahlah. toh kamu bukan anak kecil lagi bukan?
Bandung, 25 Agustus 2014
21.24 (UT+7)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!