Sastra dan seisinya

December “in ego”

Sudah sekian lama akhirnya saya bisa menyapa teman-teman semua disini.

hai halo apa kabar? senang rasanya bisa mengoceh kembali. Sebulan ini banyak hal yang memberikan saya pelajaran. guncangan emosional, ramu panas dalam, asam manis rasa, bahagia tak menentu, tangis pilu, bahkan hingga mimisan yang datang tak dijemput.

Desember menjadi saksi bulan kelabilan saya sebagai manusia pada umumnya dan mahasiswa tingkat akhir pada khususnya. Saya memang perempuan yang bisa dibilang “belaga dewasa”, padahal jelas-jelas emosi masih mudah naik turun. Senang, sedih, marah, sensi, mungkin bisa mencari kambing yang dihitamkan agar emosi tidak memuncak.

Saya pernah berpikir, apakah hal tersebut sangat lumrah pada manusia yang berumuran seperti saya?

Cerita pertama:

Pernah suatu ketika saya mendapat kabar, yang saya yakin semua perempuan akan sedih ketika mendengarnya. Ketika itu saya beranggapan bahwa saya pasti kuat dan menganggap bahwa badai pasti berlalu. Seperti yang saya katakan sebelumnya: belaga dewasa. Alhasil saya demam tiga hari tiga malam. Bahkan saya yang tidak biasa mimisan, tiba-tiba saat bercermin, darah keluar dari lubang hidung saya. “Ini berlebihan”, batin saya.

Apakah semua perempuan akan mudah sakit hati? atau perempuan saja yang melebih-lebihkan perasaannya hingga pada akhirnya ia melukai dirinya sendiri?

Pada dasarnya memang perempuan diberi kelebihan dengan hatinya yang begitu berperasa. Namun terkedang hal tersebuh disalah artikan dengan perempuan yang lebih egois karena ingin dimengerti lebih dulu.

Cerita kedua:

Berhari-hari saya mencoba untuk menjadi egois dengan rasa. Saya abaikan semua hal yang bermunculan dalam benak saya. Sesuatu yang saya kerjakan adalah yang saya ingin lakukan. Jika saya tidak mau, ya saya biarkan.

Berhari-hari saya bermain dengan ego. Alhasil badan saya tidak menyanggupi keegoisan saya. Saya tumbang dan terkapar di kamar tanpa berbuat apa-apa.

Saya butuh perhatian? mungkin saja. Terkadang hal bodoh yang dilakukan manusia adalah mereka yang merasa tidak ada yang memperhatikan mereka. Padahal, bisa jadi manusia tersebut sengaja menghilang dari dunia-tidak ingin dicari, dan pada akhirnya mereka benar-benar tidak dicari.

Cerita ketiga:

Perempuan perasa memang menyulitkan. Namun tidak berperasa akan lebih menyulitkan. Kemarin saya menyadari bahwa ada banyak kesalahan yang saya buat. Hari ini saya abaikan rasa bersalah tersebut. Tapi besok, rasa bersalah tersebut semakin menjadi-jadi.

Maka apa yang harus saya lakukan?

Menghancurkan rasa bersalah tersebut. Kalau sudah terjadi ya mau bagaimana lagi.

Dicemooh manusia sekitar?

Ya sudahlah. Mungkin ini memang sudah rentetatn skenario Tuhan untuk kita. Abaikan saja mereka, anggap nyamuk lewat!


Cukup sekian.

Selamat berlibur.

Balikpapan, 29 Desember 2015

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!