Cerita Ibu Anak

Berperan Menjadi Seorang Anak

Photo by Emma Bauso on Pexels.com

Orangtua itu luar biasa. Susah payah dari mengandung berbulan-bulan. Malam gabisa tidur, makan mual, mau ngapa-ngapain eungap, mau makan harus pilih-pilih yang sehat, mau aktivitas kadang juga enggan karna serba ga nyaman, belum lagi ada aja ragam retorika yang ngebuat perasaan jadi lebih sensitif dan emosional.

Pun setelah bayi kita lahir ke kedunia. Punya impian ingin memiliki anak yang cerdas, mahir piano, cepat membaca, atletis, atau bahkan penghafal quran. Siapa yang tidak mau anaknya menjadi penghafal quran, bukan hanya kemuliaan bagi anak itu sendiri, bahkan akan memberikan kemuliaan bagi kedua orangtuanya dan surga bagi ibunya.

Bagaimana jika kita mencoba mendalami peran dan memposisikan diri sebagai seorang anak?

Yang kita tau memang ajarkan hal baik sedari kecil. Ajarkan yang seperti apa, nah ini perlu dimaknai dengan baik. Lebih tepatnya, niat kita dengan maksud mengajarkan tapi dengan bentuk mengarahkan bukan memaksakan. Misal, kita ingin agar anak jadi penghapal quran. Banyak orang tua yang akhirnya sedari kecil sudah disiapkan sekolah penghafalquran sejak TK kemudian lanjut SD dan seterusnya. Sangat baik memang kita bisa melihat ketertarikan anak. Kalau anak memang dari kecil sudah tertarik dengan menghafal, kita bisa arahkan itu. Kalau anak belum mau tapi kita berharap untuk mau, ya minimal kita hanya bisa mengarahkan. Misal setiap hari diputar murottal ayat quran. Sebelum tidur dibacakan surat-surat pendek. Karna mau bagaimanapun juga menghafal bagi anak adalah beban. Kebayang ga sih kalau sejak kecil udah mengemban hafalan quran padahal ayat quran yang sudah dihafalkan tidak boleh lupa alias harus rutin di murojaah.

Berperan menjadi anak, memang betul diusia balita atau bawah lima tahun adalah masa emas apalagi ingatan. Mari kita coba menyelam dibawah alam sadarnya. Hafalannya bukan karna paksaan tapi karna sering di dengan di alam bawah sadarnya setiap hari bahkan ketika tidur murottal non stop. Ketika diusia baligh nya, baru mulai kita latih untuk menghafalkan sekian demi sekian. Masa kecil itu waktunya bermain makan biarkan ia menikmati masa bermainnya sepuasnya. Hingga anak sadar sendiri atau mulai merasa jenuh dengan bermain dan bermain. Dan mulai dengan hal yang lebih menantang seperti belajar musik mungkin,enghafal quran, olahraga atlit, dan lain-lain.

Ini opiniku, bagaimana denganmu?

Yuk sharing..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!