Cerita Makhluk Hidup,  Cerita Menanam,  Cerita Sejarah

Bambu dan Masyarakat Sunda

Photo by Brian on Pexels.com

Bambu merupakan sumberdaya potensial yang memiliki banyak fungsi dan manfaat dalam kehidupan manusia (Gambar 2.10). Indonesia diperkirakan memiliki 157 jenis bambu yang merupakan lebih dari 10% jenis bambu di dunia. Jenis bambu di dunia diperkirakan terdiri atas 1250-1350 jenis. Di antara jenis bambu yang tumbuh di Indonesia, 50% diantaranya merupakan bambu endemik dan lebih dari 50% merupakan jenis bambu yang telah dimanfaatkan oleh penduduk dan sangat berpotensi untuk dikembangkan (Widjadja dan Karsono, 2005). Beberapa karateristik dasar yang dimiliki bambu sehingga mudah dimanfaatkan yaitu pertumbuhan yang cepat (fast growing plants), produksi biomasa yang tinggi (high biomass productivity), sumberdaya alam lestari (renewable resources), tumbuhan multiguna (multipurpose plants), nilai ekonomi tinggi (high economics value), memiliki potensi sebagai pengganti kayu (potential for wood substitute), dan penting bagi ekologi dan lingkungan (important for ecology and environmental and services) (Ekawati et al. 2013).

Pada aspek sosial dan ekonomi, tumbuhan bambu di daerah pedesan mampu mengangkat perekonomian masyarakat sebagai penghasilan utama maupun tambahan. Bambu memiliki makna status dan nilai sosial. Selain itu bagi masyarakat pedesaan, rumpun bambu dapat menjadi tabungan, suatu sumber daya penyangga yang dapat diandalkan bila timbul keadaan paceklik. Rebungnya dapat langsung dimakan. Buluh bambu juga dapat diperdagangkan (Batubara 2002).  

 

dokumentasi pribadi

Di Jawa Barat, bambu sangat erat kaitannya dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Ekawati et al. (2013), bambu telah dimanfaatkan sejak dulu dan dalam dunia modern pemanfaatan bambu menjadi lebih luas dan beragam, tidak lagi hanya sebagai bahan kerajinan dan anyaman, namun bambu sudah dapat menjadi komoditas pengganti kayu. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (2008), penggunaan bambu sebagai jenis dinding rumah di perkotaan, pedesaan maupun perkotaan-pedesaan di Jawa Barat menduduki posisi kedua terluas (m2) setelah tembok. Penggunaan bambu oleh masyarakat sebagai bahan bangunan perumahan selain mudah didapat, bahan bambu dipercaya oleh masyarakat sebagi bahan yang kuat dan awet dengan catatan penggunaan terhindar untuk berhubungan langsung dengan air (Batubara 2002).

Bambu memiliki peran penting dalam sejarah perkembangan Islam di Jawa Barat. Menurut Lubis et al. (2013), Pada tahun 1812, Masjid Agung Bandung berbentuk sebuah bangunan panggung tradisional sederhana yang terbuat dari bilik bambu dan beratap susun tiga. Tahun 1826, bangunan Masjid Agung Bandung secara berangsur-angsur diganti dari bilik dan bambu menjadi bangunan berkonstruksi kayu. Selain itu, Lembaga pendidikan tertua di Majalengka bernama Majlisul Ilmi yang didirikan pada tahun 1911 sebagai lembaga yang menjadi tempat kegiatan pendidikan agama, yaitu berupa mushala/surau yang terbuat dari bambu. Santri pun diajarkan membuat kerajinan tangan dari bambu.  

Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Sunda sangat erat kaitannya dengan bambu. Menurut Suryani (2000), masyarakat Sunda mengenal bermacam wadah yang digunakan untuk menaruh berbagai benda, terutama bahan makanan pokok. Wadah-wadah dalam masyarakat Sunda tradisional umumnya terbuat dari anyaman bambu, tanah liat, atau logam. Sebagian besar dari wadah-wadah ini adalah perlengkapan dapur yang juga memegang peranan penting dalam proses pengolahan makanan dalam masyarakat Sunda tradisional. Masyarakat Sunda tradisional, termasuk yang masih lestari hingga saat ini, seperti di Kanekes dan Kampung Naga, wadah-wadah dari anyaman bambu dihasilkan secara swadaya oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri seperti aseupan, leukeur, nyiru, kele, boboko, tolombong. Beberapa wadah tersebut telah pula bertransformasi dari benda pakai menjadi souvenir, seperti pada wadah-wadah anyaman bambu yang dihasilkan dan dijual oleh masyarakat kampung Naga di Tasikmalaya.

dokumentasi pribadi

Masyarakat Sunda masih memiliki kebiasaan mempergunakan alas duduk dari bambu di dalam rumah. Hingga kini yang masih terikat oleh kebiasaan tersebut adalah rumah-rumah di desa seperti Kampung Pulo, Cangkuang (Leles) dan Ciburuy (Bayongbong) di Kabupaten Garut (Kosoh 1994). Pada konteks desain tradisional Sunda, tampak bahwa setiap material yang dipakai, memiliki karakteristik yang khas sehingga memerlukan alat khusus yang juga khas untuk mengolahnya dengan melalui proses pembuatan dan pemasangan tertentu sesuai dengan sifat material dan kemampuan alat. Sifat material dan jenis bambu tertentu misalnya, dapat dipakai dalam keadaan utuh, dibelah, atau dibuat anyaman. Masing-masing jenis bambu dipakai untuk bagian tertentu di dalam konstruksi bangunan. Bambu utuh untuk kaso penyangga atap, bambu gombong dibelah dan diratakan dipakai untuk lantai (palupuh) sedang awi tali (bambu tali) dianyam dijadikan bilik untuk dinding (Jamaludin 2011). Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (2008), sebesar 33,7% masyarakat di pedesaan dan 9,15% masyarakat di perkotaan Jawa Barat masih menggunakan dinding rumah berbahan bambu. Sedangkan dalam medis, Jawa Barat menduduki posisi ketiga di Indonesia dalam penggunaannya untuk pemotongan tali pusar menggunakan bambu.

Jawa Barat memiliki ragam jenis kesenian Sunda. Menurut Kosoh (1994), sejak zaman Prasejarah, masyarakat telah mengenal tari-tarian. Tari-tarian tersebut diiringi oleh bunyi-bunyian dari bahan kulit binatang atau dari alat-alat instrumen yang dibuat dari bahan kayu atau bambu. Selain tari, terdapat juga lais. Lais merupakan suatu pertujukan rakyat di Jawa Barat. Dalam pertujukannya, satu atau dua orang memperlihatkan keahliannya berjalan atau duduk di atas tambang yang direntangkan di antara dua ujung bambu. Tambang tersebut selalu bergoyang dan bambunya pun bergerak menyangga beban dan gerakan pemain lais tersebut. Lais pada masa kini terdapat di Kabupaten Sumedang, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Cirebon, dan Bandung. Lais dapat disaksikan pada acara-acara kenegaraan, hajatan, pernikahaan, atau pun khitanan. 

 Ditengah abad ke-20, pagelaran seni musik menggunakan bambu sudah dilakukan dan dinikmati oleh warga Jawa Barat (Adam 2006). Di Jawa Barat terkenal dengan angklung sebagai alat musik yang terbuat dari bambu. Diantara berbagai jenis bambu, Bambu Hitam (Gigantochloa atroviolaceae Widjaja), Bambu Gombong (Gigantochloa pseudoarundinacea (Steud) Widjaja), Bambu Temen (Gigantochloa atter (Hassk.) Kurz), dan Bambu Tali (Gigantochloa apus (J.A. & J.H. Schultes) Kurz) tercatat memiliki karakteristik yang khusus sehingga dijadikan sebagai bahan baku angklung. Jenis Bambu Hitam merupakan komponen utama angklung yang digunakan untuk tabung nada karena menghasilkan suara yang paling sesuai (Nuriyatin 2000). Bambu hitam yang ideal digunakan sebagai bahan baku angklung memiliki karakteristik khusus yang buluh bambu hanya dapat dipenuhi dari daerah kering di Jawa Barat (Cundaningsih et al. 2015). Musik angklung termasuk salah satu jenis musik bambu yang masih terpelihara sampai saat ini. Di wilayah budaya Sunda, kehadiran jenis-jenis kesenian angklung untuk kepentingan upacara ritual padi tersebar di beberapa wilayah dalam berbagai penyebutan, di antaranya: Angklung Buncis, Angklung Gubrag, Angklung Bungko, Badud, Dodod, Angklung Dogdog Lojor, Angklung Mayangsari, Angklung Baduy, Angklung BadengBadud, dan lain-lain. Hampir semua jenis kesenian angklung ini oleh masyarakat dikategorikan sebagai angklung buhun atau angklung kuna (baca: kuno) yang artinya tua (Budi et al. 2014). Adapun menurut Kosoh (1994), Bentuk kesenian lain yang ada di Jawa Barat adalah arumba. Arumba merupakan salah satu jenis musik rakyat yang terdapat bambu pilihan seperti awi temen, tali dan wulung (bambu hitam). Kehadiran musik bambu dalam kehidupan masyarakat budaya Sunda hadir sejak masyarakatnya menjalankan budaya agraris tradisional yaitu ngahuma atau berladang, hingga masuknya budaya sawah karena pengaruh budaya Jawa (Budi et al. 2014). Dalam falsafah Sunda Buhun, penghormatan pada padi menempati kedudukan tinggi yang dilaksanakan dengan penuh kegembiraan para petani (Soeganda 1982). Musik bambu selalu dihadirkan dalam siklus upacara penanaman padi, sehingga sangat beralasan apabila keberadaan musik bambu dalam budaya Sunda sampai sekarang masih terpelihara, khususnya pada masyarakat agraris tradisional (Budi et al. 2014).

dalam artikel selanjutnya kan saya tuliskan berbagai pemanfaatan bambu oleh masyarakat sunda terutama di Desa Karangwangi, tempat penelitian skripsi saya.

Referensi sumber sengaja tidak dicantumkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!