Sastra dan seisinya

Hati di Musim Kemarau

“Tentang hari yang tak letih-letihnya menyaksikan kami saling mengalihkan pandangan. Rasanya kesal dan sesal. Dia yang mulai, tapi kenapa harus aku yang menunggu?

Tentang angin yang terasa menusuk di di punggung. Buatnya, mungkin aku terlalu banyak mengeluh. Menginginkan ini dan itu, juga lagi dan lagi. Dia yang salah, tapi kenapa aku yang disalahkan?

Berhari-hari seakan dalam penantian yang telah diketahui akhirnya. Untuk apa berharap bila tidak ada yang berusaha?

Berdiam untuk menemani pun menjadi salah. Tak ada kata yang ingin diucapkan. Mungkin dia bingung, dan aku sudah terlanjur lelah. Sampai sekarang kamu masih tidak mau mengerti.”

Tulisan ini hanyalah untaian putus asa yang tak berpemilik. Semakin lama diingat, semakin panjang ditulis, tidak akan ada yang mau mengakui tulisan ini. Bayangkan betapa jauhnya akal, bagaimana bisa ada seseorang yang bisa bertahan dengan sesorang yang mungkin sekarang sedang bosan, sedang tidak ingin, hingga sedang tidak berperasa. Kalau Aku orangnya,……….. entahlah barangkali memang sudah tidak ada hati diantara mereka. Lagipula tidak ada yang mau bergerak untuk mencoba.

Kalau benar hati harus terus dipupuk layaknya tanaman, apakah ia akan berhasil bila pupuk yang diberikan hanya saat diawal masa tumbuh? Akankah berbuah lebat bila tanaman hanya dibiarkan tanpa perawatan? Bagaimana bisa hati terus bertahan di musim kemarau?

Seandainya kamu jadi mereka, apa yang paling ingin kamu lakukan?

 

Juli, 2022

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!