Sastra dan seisinya

Semesta dan Dunia

Waktu subuh tiba. Usai sholat, karna sakitnya dan rasa penasaran, akhirnya aku dan suamiku pergi ke puskesmas. Setelah dicek bukaan, ternyata masih sudah bukaan 2. Ups, bukan sudah.. mungkin lebih tepatnya masih. Dan itu antara aku yang berlebihan ngungkapin dahsyatnya kontraksi atau aku yang belum paham bagaimana mengendalikan kontraksi itu.

Akhirnya, aku diminta untuk terus berjalan-jalan agar pembukaannya bertambah. Maklum, katanya anak pertama akan membutuhkan bukaan yang lama untuk mencapai waktunya melahirkan. Dua jam berlalu, jalan kaki sepanjang arah puskesmas ternyata cukup melelahkan. Lelah nyeri dan lelah pegel kaki. Dicek lagi, alhamdulillah bertambah jadi bukaan 4 dan sudah mulai keluar flek. Maka diprediksilah bahwa akan lahiran malam hari atau mungkin esok subuh. Sesuai dengan harapan sang bapak, jika malam hari maka akan tepat saat peristiwa gerhana bulan total (7 agustus 2017).
Aku dan barang-barang perlengkapanku kembali ke rumah. Malam itu gerhana bulan terjadi. Dan malam itu pula menjadi malam terpanjang dalam hidupku. Mau tidak mau aku harus tidur, demi tenagaku untuk persalinan nanti. Tapi bagaimana bisa tidur, nyut nyut nyut.. terus saja mendera perutku. Naik turun ranjang, jongkok, dan sujud, kulakukan untuk paling tidak membuang rasa sakitnya. Dan saat sepertiga malam, aku berdoa agar paling tidak aku bisa terlelap meski hanya satu jam. Dan betul, satu jam aku terlelap dan terbangun oleh bunyi letupan air. Pletuk. Tetiba basah semua celanaku hingga kasur. Panik, tentu saja. Terlebih lagi suamiku yang belum pernah melihat istrinya dengan air yang mendadak membasahi seluruh kaki.
Aku pun langsung pergi ke puskesmas. Dicek lagi pembukaan dan masuk 7. Saat ituaku masih bisa nyengir, dan kumanfaatkan untuk telpon ibuku. Ucapan maaf mengalir melalui mulut. Apa yang dirasakan ibuku dulu mungkin bisa melebihi dahsyatnya dibanding apa yang kurasakan sekarang. Yang jelas, aku mulai paham mengapa Alloh begitu memuliakan seorang Ibu. Air itu adalah air ketuban yang merembes. Ternyata ketubanku sudah lebih dulu pecah. Meski masih belum semua lapisannya yang pecah. Katanya, dalam waktu 7 jam sudah harus ada tindak lanjut dan bayi harus keluar. Dianalah puskesmas tidak bisa melayani dan aku pun dirujuk ke rumah sakit. Tanpa basa basi, pukul 9 pagi aku dibawa menggunakan mobil ambulans dan tentu ditemani suami.

Pertama kalinya aku berkendara dengan mobil ambulans. Ngebutnya pengendara begitu juga jalannya yang tidak mendukung, lengkap sudah menemani kontraksiku. Lucunya, mendadak rasa kontraksi hilang seketika saat mendengar suamiku terbatuk-batuk.

“Uhuk uhuk….. hwuek.” Lepas sudah ternyata suamiku mabok perjalanan. Pertama kalinya aku melihat suamiku munah karena mabok. Mungkin karena fisik juga ikutan lelah begadang nemenin istri yang kontraksi plus baru pertama kalinya naik mobil ambulans. Dan di mobil itu juga aku bisa tidur walau sekejap. Efek samping ngebutnya mobil.

Sampai di RS, masuklah ke UGD, sendal pun tertinggal dan menjadi kenangan di mobil ambulans. Di RS masih perlu di observasi sambil menunggu keputusan obgyn yang saat itu sedang melakukan operasi pasien lain. Menunggu hingga pukul 12 siang, mau makan-minum sudah tidak peduli, meski mau tidak mau harus paling tidak minum sesuatu atau memakan sesuatu sebagai tenaga saat melahirkan nanti, begitu katanya.

Obgyn tiba, dan diputuskan agar ketuban harus dipecahkan agar memudahkan jalan keluar bayi. Kemudian diberi induksi sebagai perangsang agar bayi segera keluar, karna jika tidak akan membahayakan bayi. Betul sudah, cerita-cerita yang selama ini kudengan terkait induksi, akhirnya kurasakan sendiri. Meski rasa sakitnya yang membuat kita bisa tidak sadar diri, mengucapkan kata-kata serapah entah bermakna atau tidak, itu semua kita yang memutuskan. Umpatan atau doa, hanya rasa sakit yang mampu menerjemahkannya. Mungkin saat itu, adalah saat dimana kepasrahan jihad seorang ibu yang tetap tangguh berjuang atau menyerah. Jam 2 siang dinduksi, serta dua jam merasakan jeritan induksi. Hingga perlahan mulai terasa ada sesuatu yang benar-benar ingin keluar dari semestanya dan segera melihat dunia. Dunia dimana ibunya berada.
Semua berkumpul dan berdoa. Memberi semangat dan kekuatan hati. “Kamu harus tangguh Zifa, kalau kamu pingin anakmu tangguh, Ibunya juga harus tangguh. Pasti bisa. Itu lihat anakmu sudah tidak sabar bertemu ibunya.”

Dengan kekuatan penuh, dan… bismillah
“Oeee…oeee..ooeeee…”

Tangisan cilik nan pilu, anakku, bayi mungil seirang perempuan cantik dan memesona.
Tes. Air mata terjatuh membasahi pipiku. Semua rasa sakit dan lelah hilang seketika. Alhamdulillah, kini aku tau betapa menjadi seorang Ibu, begitu besar pengorbanannya. Dan aku yakin, ini baru awal. Masih banyak pengorbanan-pengorbanan lainnya yang menunggu.

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!