Terpaan angin
Aku diterpa angin. Tidak, angin lah yang menerpaku. Kita saling beradu, aku menyalahkannya dan dia menyalahkanku. Tak Ada ujungnya. Aku tersenyum. Mungkin jika ini tak terjadi aku akan bosan dan melupakan angin. Aku tersenyum kembali. Jarum jam berdetak, tik tok tik tok. Bahkan jantung pun tak mau kalah. Ada yang beda. Detaknya begitu kencang, sama seperti saat aku membaca namanya. Hanya sekadar nama dapat membuatku terhenti dari segala aktivitas. Setajam itukah penglihatanku? Atau mungkin namanya telah diberi bumbu bumbu penyedap sehingga aku seolah mati kaku membaca namanya? Beribu pertanyaan kubuat dan kurangkai satu persatu. Aku tak mau menyalahkan diriku sendiri. Ya karena ini bukan salahku.
Angin kembali menerpaku. Bukan salahku jika aku berharap lebih terhadapnya. Bukan salahku jika hati ku selalu mendidih bak sup yang baru saja matang saat aku membaca namanya. Bukan salahku jika sekrup-sekrup di otakku mulai melepaskan diri dari bautnya saat aku melihatnya dari kejauhan. Bukan salahku jika dinding-dinding mulai retak bahkan roboh seketika saat aku menyebut namanya dari mulut dusta ini. Bukan salahku jika aku bersikap kekanakan saat aku berbincang dengannya. Ya aku tak mau diasalahkan sama halnya ketika aku beradu dengan angin.
Lagi lagi angin menerpaku. Tapi tidak, kali ini dia menerpaku dengan lembutan kasih sayang. Mungkin tak banyak orang yang dapat merasakannya. Ini benar! Aku dapat merasakannya.
Seakan-akan angin menyapaku dengan cinta. Cinta yang selama ini kunanti. Cinta tulus, cinta yang hakiki. Aku berbeda. Bukan berarti aku memiliki kepribadian yang lain dari pada yang lain. Aku sama seperti kalian, aku anak cucu adam. Bukan berarti Anak cucu Adam yang seperti sinetron di layar televisi. Ya kita sama-sama manusia.
Aku berbeda karena sekarang aku sedang dikelilingi oleh bunga-bunga yang harumnya tak dapat kurasakan. Bagaimana bisa?
Aku tak dapat menyimpulkannya sekalipun itu adalah kesimpulan yang prematur(?)
Jateng 10.00 (UT+7)
Bersama suara rel kereta api