Sastra dan seisinya

Anak Perempuan Ayah

Pada suatu hari di saat senja bertandang menyambut gelombang rasa, sepasang merpati bersandar di dahan pohon besar: menatap jingganya langit senja. Mereka menikmati keindahan bersama. Saling mengepakkan sayap, berbagi sarang, berbagi harapan, berbagi keindahan, berbagi hari tua: bersama.

“Ayah, kalau adik sudah besar nanti, adik jadi apa yaa?”
“Loh, memangnya adik ingin jadi apa? Kan cita-cita itu ada banyak. Adik bisa mencocokkan mana yang sesuai sama keinginan dan kemampuan adik.”
“Adik gamau jadi apa-apa. Adik cuman ingin hidup tua bersama ayah. Kalau ayah nanti jadi kakek dari anak-anak adik, adik jadi nenek dari cucu adik. Pusing ya yah? Pokoknya gitu deh yah. Kelak di hari tua ayah, adik ingin selalu ada untuk ayah. Membuatkan lodeh kesukaan ayah, sambal trasi dan tempe tepungnya. Boleh kan yah?”
Ayah tersenyum sambil membelai rambutku. Mungkin ayah tertawa dalam batinnya karena mendengar jawabanku. Aku memang masih kecil. Walaupun untuk membaca saja masih terbata-bata, tetapi ingatanku tajam. Apalagi ingatan tentang semua kenangan saat aku bersama ayah: tidak pernah kulupakan sekecil apapun itu.
“Adik boleh melakukan sesuka adik. Ayah akan melalukan yang terbaik untuk menjadikan anak perempuan ayah dengan akhlak yang baik dan juga menjaga adik untuk mencapai suatu kemuliaan. Tapi adik harus tau, ada saatnya nanti ayah harus membagi kebahagiaan tentangmu kepada orang lain. Dan itulah yang akan terjadi. Ayah harus siap. Maka jadilah perempuan ayah yang cantik: menjadi diri sendiri.”
“Emang siapa itu ayah? Kenapa kebahagiaan ayah harus terbagi? Adik kan anak ayah.”
“Ada saatnya adik akan tau.”
Malam itu tanpa sadar, aku pun tertidur lelap. Menunggu, kapan aku akan mengetahuinya.
Jatinangor, 23 April 2015
13.15 wib

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!