Sastra dan seisinya

Surau Suara Ramadhan

Di surau,
Ada seorang perempuan dengan segala kekhawatirannya, kesedihannya, kerapuhannya, kelemahannya, menembus penjuru sudut. Suara gemuruh layaknya tangis dan pekikan jerit hati
menyelimuti seluruh dirinya. Basah sudah dalam tubuhnya. Mengingat hari perhari yang telah dilalui setelah ternobatkan menjadi seorang Ibu. Baginya: “aku belum bisa tangguh sebagai Ibu. Mungkin akulah ibu yang buruk. Tak ada kasih dan juga sayang. Tak mengasihi ataupula dikasihi.”

Di Surau Suara,
Tak ada tempat yang mampu mendengar suaraku kecuali di surau ini. Surau langit sendu dan rintikan hujan yang ikut menghamburkan suara-suaraku. Lompatan dan jurang yang kulalui bersama malaikat kecil dan juga pendamping hidup, mungkin apa yang kualami baginya sekadar remeh temeh. Suara tak penting yang harus dibuang jauh-jauh. Sedangkan aku, membiarkan suara ini tenggelam semakin jauh. Berharap ada sesuatu atau bahkan seseorang yang rela menjemput suara-suaraku.

Di Surau Suara Ramadhan,
Maka adanya Ramadhan menjadi tempat suara surauku kali ini. Ratus rindu aduan dan rayuan seharusnya bergelimang disini. Sepertinya itu yang perempuan tersebut butuhkan. Sepertinya itu yang Aku butuhkan. Dengan suara Ramadhan di surau ini, aku hanya ingin kamu menghiburku: menerimaku dan selalu ada disisiku. Abaikan kesibukanmu sejenak, untuk memberikanku hari-hari manja dan menyenangkan bersama suara Ramadhan di surau ini.

Mungkin, begitu seharusnya.
Seandainya saja kamu membacanya.

Lembang, 25 Mei 2018
10.14 wib

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!