Sastra dan seisinya

Sebenar-benarnya Makmum

ada sebuah obrolan antara aku dengan salah seorang temanku. seperti biasa, ini disebut dengan celotehan yang mengandai-andai tentang seorang lelaki.

selayaknya lelaki, mungkin mereka ingin mendapatkan perempuan yang baik, pintar, solehah dimana kelak akan dijadikan sebagai ibu untuk anak-anaknya. sempat terfikir oleh kami, bagaimana dengan perempuan yang (mungkin) ilmu agamanya kurang, perilaku tidak seanggun perempuan solehah, ya walaupun setidaknya kami bermodal ‘baik’ menjadi seseorang yang melayani suami dan siap menjadi ibu untuk anak-anak kami kelak.

katanya yang baik itu akan mendapatkan jodoh yang baik pula. tapi kalau pada kenyataannya kami menginginkan lelaki pendamping yang sholeh, ilmu agamanya baik, sedangkan kami belum mampu memantaskan, apa tidak apa-apa?

Hingga akhirnya terpikir kembali,
“Lalu bagaimana dengan tugasmu sebagai seorang imam?”

Coba lihat, kupikir perempuan adalah makmum. menjadi makmum yang baik sekiranya adalah cukup. kami tidak punya banyak hal yang mampu membuat dirimu senang. walau sudah berusaha keras, tapi bagaimana jika ternyata belum juga sampai? apakah kamu tidak keberatan? tapi bukankah ini tugasmu kan, sebagai seorang imam?

seandainya semua lelaki berfikiran begitu, menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya tugas. maka (mungkin) kami tidak perlu terlalu khawatir dan rendah diri untuk berharap mendapatkan seorang lelaki yang kami pikir itu adalah ‘baik’. karena kami, perempuan adalah sebenar-benarnya makmum. indahkanlah pernikahanmu kelak untuk sungguh-sungguh karena ingin membimbing kami, membawa kami, menuju surgaNya.

Lalu kami pun terkekeh bersama: tersipu malu.

Solo, 22 Januari 2015
22.23 wib

epilog:
biar berasa sensasi membangun rumah tangganya ^^v

“because the girls like us is impossible to find” 🙂

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!