Sastra dan seisinya

(si)apa Tuan Merah

Nyanyian angin bersama alunan merdu rumput, membuat senja ini smakin menjadi-jadi. Burung yang biasanya bersuka cita menyambut senja kini entah kemana. Ada sebilah kaca dan serpihan tanda tanya yang berserakan. Mewarnai atau mengotori (?)
Senja tidak selamanya akan indah, begitu kata merpati. Apa yang menurut kita indah belum tentu sama indahnya bagimu. Karna bagaimanapun juga, keindahan akan hadir saat hati, mata, dan pikiran bersama-sama memiliki rasa: iya, itu indah.
Begitu juga tentang hal-hal yang biasa kita rasakan: baik, bagus, elok, cantik, tampan. 
“Mengapa hanya yang baik-baik saja? Bagaimana dengan sakit? Jelek? Jahat?” Tanya adik dengan penasarannya.
“Kau harus tahu bahwa disitu, disitu, dan disitu, ada tuan merah yang selalu menyertai. Kau tahu siapa tuan merah?” Kata ayah.
“Seseorang yang berbadan merah, begitukah?” Jawab adik-adik heran. 
“Kau tahu, tuan merah suka sekali tertawa. Menertawai orang yang sedang menertawakan orang lain: kejelakan, keburukuan, kebodohan, dan apapun itu. Tanpa sadar orang tersebut tidak ada bedanya dengan tuan merah. Bagaimana, adik mau disamakan dengan tuan merah? Mulai sekarang, buang jauh-jauh tentang keburukan yang pernah atau mungkin masih ada pada dirimu terutama tentang orang lain. Letakkan di hatimu, matamu, pikiranmu tentang semua hal apa yang disebut dengan indah.”
Jatinangor, 8 mei 2015
17.26 wib

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!